Sidang Hartati Murdaya
Saksi Ahli: Perusahaan Hartati Harusnya Otomatis Dapat HGU
Seharusnya PT HIP, perusahaan milik Hartati Murdaya di Buol, tidak perlu mengajukan ulang permohonan izin HGU atas lahan seluas 4.500 hektare.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dr BF Sihombing MA, pakar hukum pertanahan berpendapat, seharusnya PT Hardaya Inti Plantation (HIP), perusahaan milik Hartati Murdaya di Buol, tidak perlu mengajukan ulang permohonan izin hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas 4.500 hektare.
Menurutnya, lahan seluas itu seharusnya otomatis didapatkan HIP, meski ada peraturan Menteri Agraria yang mensyaratkan maksimal satu perusahaan hanya boleh memiliki HGU seluas 20 ribu hektare di satu provinsi.
"Terhadap lahan 4.500 hektare yang berada di luar HGU, harusnya PT HIP berhak mendapatkah surat HGU, walau melebihi angka pembatasan lahan 20 ribu hektare. Sebab, izin lokasi dan permohonan HGU diajukan sebelum keluarnya peraturan menteri tentang pembatasan lahan," jelas Sihombing ketika bersaksi untuk terdakwa Siti Hartati Murdaya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (3/1/2013).
Sihombing dihadirkan kubu Hartati sebagai saksi meringankaan (a de charge). Tapi, pengajuan permohonan, tutur Sihombing, harus diajukan tertulis ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), bukan kepada bupati.
Sihombing menuturkan, peraturan mengenai pembatasan lahan maksimal 20 ribu hektare tidak berlaku surut. Sehingga, seharusnya HIP tetap mendapatkan izin atas lahannya yang mencapai 75 ribu hektare di Buol, Sulawesi Tengah.
Sebelumnya, Hartati didakwa jaksa memberikan uang Rp 3 miliar kepada mantan Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu, agar mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) dan HGU untuk perusahaannya.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, JPU Edy Hartoyo mengatakan Hartati selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation dan PT Citra Cakra Murdya, memberikan uang agar Amran membuat surat kepada Gubernur Sulawesi Tenggara dan Kepala BPN terkait perizinan usahanya.
Jaksa menjerat Hartati dengan dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 1 huruf a UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP/ dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun, dan denda maksimal Rp 250 juta.
Jaksa juga menuntut Hartati dengan dakwaan kedua dari pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun, dan denda maksimal Rp 150 juta.
Menurut jaksa, Hartati dan Amran bertemu di Hotel Grand Hyatt pada 11 Juni 2012, dan meminta Amran menerbikan surat izin lokasi, surat rekomendasi kepada Gubernur Sulteng, rekomendasi kepada Kepala BPN untuk lahan 4.500 hektare, dan sisa lahan 75 ribu hektare yang masuk dalam izin lokasi tapi belum memiliki HGU.
"Terdakwa setuju untuk memberikan uang Rp 3 miliar. Rp 1 miliar diberikan lewat Arim dan Rp 2 miliar melalui Gondo Sudjono," ucap jaksa.
Atas kesepakatan itu, Hartati memerintahkan Arim untuk membuat surat-surat yang dimaksud, dan memberikan kepada Amran di satu showroom Mitsubishi di Jakarta pada 11 Juni 2012. (*)