BP Migas Dibubarkan
Priyono Tolak Bahas Migas di Kelompok Pengajian
Saya diundang pengajian. Tapi pengajian kok bahas oil and gas, menurut saya tidak masuk akal

Kisah-kisah Aneh di Balik Pembubaran BP Migas (2)
SEJAK awal ada sekelompok orang dan organisasi, mengajukan juducial review (uji materiil) terhadap UU Migas, Raden Priyono sudah mendengar. Ia bahkan pernah diundang ke satu pengajian yang dipimpin seorang tokoh dari para penggugat.
"Saya diundang pengajian. Tapi pengajian kok bahas oil and gas, menurut saya tidak masuk akal," kata Priyono. Namun dia tidak menghadiri undangan tersebut. Dia merasa ganjil, kok mengapa kelompok pengajian membahas tentang industri minyak dan gas. "Ini aneh."
Dia pun merasa alasan untuk membubarkan BP Migas terkesan dibuat-buat, dicari-cari. Apalagi alsannya menyangkut tudingan tak mendasar yang menyebut BP Migas sebagai lembaga yang sanga pro-asing. Kalaupun anggapan pro-asing itu dilihat dari komposisi modal pada perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (K3S), mestinya dilihat lagi ke belakang.
"Zamannya Pertamina, campur tangan asing sudah ada. Dari zaman Orla sampai Orba. BP Migas tidak pernah punya kewenangan memutus maupun memperpanjang kontrak perusahaan kontraktor asing. Kewenangan itu ada di Kementerian ESDM. Jadi kontrak yang ada sekarang, warisan Pertamina. Pertanyaannya, mengapa kami yang disalahkan, padahal bukan, kami yang mengundang inverstor asing. Itu sudah diwariskan pertamina sejak dulu," kata Priyono.
Perusahaan asing diundang sebelum BP Migas beroperasi merupakan perusahaan modal asing, foreign direct investment. Memang setelah BP Migas dibentuk tahun 2002, jumlahnya perusahaan yang masuk bertambah. Tapi sejauh ini belum beroperasi dan mengeksplorasi, jadi cost recovery belum ada untuk kontrakator baru. Kalaupun ada, skala kecil-kecilan.
"Regulatornya Kementerian ESDM, kami melaksanakan, kami tidak boleh membuat inisiatif apa pun kecuali menjalankan Undang-undang," katanya.
Priyono menyebut saat ini ada 309 persuahaan yang beroperasi di bawah BP Migas. Sebanyak 119 perusahaan merupakan warisan Pertamina. Sebagian ada yang berproduksi berdasarkan kontrak product sharing (KPS), hampir 80 persen perusahaan asing.
Kemudian kapasitas lifting (produksi) 900 ribu barel per hari, kemampuan pertaminan hanya 134 ribu barel per hari, Bakri berkisar 40-60 ribu barel per hari, Medco lebih kecil, sekitar 20 - 30 ribu barel per hari. "Dari 186 perusahaan yang saya diteken, produksi masih kecil-kecilan, 20 ribu barel per hari," kata Priyono.
Sebagaimana diberitakan, MK memutuskan pasal-pasal yang mengatur tentang tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Seluruh hal yang berkait dengan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, BP Migas harus bubar. "Sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait. Sejak saat ini BP Migs bubuar," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD, saat membacakan putusan pengujian Undang-undang Migas di Jakarta, Selasa (13/11) kemarin.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 dalam UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Judicial Review UU No. 22/2001 tentang Migas diajukan sejumlah organisasi dan perorangan. Mereka terdiri atas tokoh-tokoh nasional dan aktivis. Antara lain PP Muhammadiyah, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Adhie Massardi, dan M Hatta Taliwang.
Para penggugat menghadirkan sejumlah saksi ahli, di antaranya mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, pakar Migas Dr Kurtubi, pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis, dan lainnya.
Terkait BP Migas, para penggugat berpendapat BP Migas tidak banyak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia. Pada praktiknya, BP Migas justru lebih banyak menguntungkan kontraktor-kontraktor asing. BP Migas justru menjadi 'kepanjangan tangan' kontraktor asing, khususnya dalam soal persetujuan pembayaran cost recovery yang jumlahnya amat besar. (Domu D Ambarita)