RUU Keamanan Nasional
Pemerintah Seharusnya Bentuk UU Tugas Perbantuan
Menurut mereka, RUU Kamnas masih mengandung pasal-pasal bermasalah, yang dapat membahayakan hak asasi warga negara dan demokrasi.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan, terus meneriakkan penolakan terhadap Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) versi terbaru dari pemerintah.
Menurut mereka, RUU Kamnas masih mengandung pasal-pasal bermasalah, yang dapat membahayakan hak asasi warga negara dan demokrasi.
Direktur Program Imparsial Al-Araf menuturkan, Indonesia sebenarnya telah memiliki banyak undang-undang di sektor keamanan, seperti UU TNI, UU Polri, UU Pertahanan, UU Pemberantasan Terorisme, dan UU Intelijen.
"Bila pemerintah menilai masih terdapat kekosongan hukum tentang aturan kerja sama sektor keamanan, khususnya TNI dan Polri, maka seharusnya pemerintah membentuk UU Tugas Perbantuan, seperti yang dimandatkan UU TNI dan UU Polri, dan bukan membentuk RUU Kamnas," jelas Araf dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, Jalan Slamet Riyadi No 19, Jakarta Timur, Kamis (1/11/2012).
Jika pemerintah ingin memperbaiki aturan tentang status darurat dan keadaan bahaya, menurut Araf, seharusnya pemerintah merevisi UU 23/1959 tentang Status Keadaan Darurat, dan bukan membentuk RUU Kamnas.
"Di luar itu, legislasi sektor keamanan yang lebih krusial dan penting untuk dibahas oleh pemerintah serta parlemen, adalah mereformasi peradilan militer melalui revisi UU 31/1997 sebagaimana dimandatkan UU TNI, tapi belum juga terealisasi hingga sekarang," jelasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan juga sepakat, bahwa presiden butuh penasihat dalam menghadapi situasi keamanan.
Seharusnya, presiden dapat memaksimalkan fungsi Menkopolhukam, atau membentuk Dewan Keamanan Nasional yang dimandatkan oleh UU Pertahanan Negara Nomor 3/2002, yang memiliki fungsi dan tugas hampir sama dengan Dewan Keamanan Nasioal, yang diatur dalam RUU Kamnas.
"Karena itu, saya menilai RUU ini sangat prematur untuk dibahas di parlemen. Seharusnya, parlemen mengembalikan draf ini kepada pemerintah," ucap Al-Araf. (*)