Minggu, 5 Oktober 2025

Kisah Inspiratif

Imam Al Hikmah New York: Islam Tidak Mengajarkan Teror

IMAM Besar Masjid Al Hikmah, New York, adalah lelaki Bugis dari Kajang, Bulukumba. Shamsi Ali lahir di desa terpencil di Kajang

Editor: Anwar Sadat Guna

Bakat berkelahi yang masih melekat pada Shamsi kini mendapat saluran yang positif. Ia kemudian masuk di kegiatan eksul Tapak Suci. Bakat inilah yang membawanya menjadi juara 2 di Unisba.

Berawal dari hobi "berkelahi" di tapak suci ini ia kelak mendapat gelar Doktor HC di Unisba.
Setelah menyelesaikan studi di Pondok Pesantren Darum Arqam Gombara, Makassar, Shamsi Ali mengabdi di pesantren untuk mengajar.

Ia ingin sekali kuliah tetapi keadaan finansial keluarga tidak mendukung. "Bingung mau masuk universitas tidak ada duit. Akhirnya ngabdi di pesantren dengan seikhlasnya," kenang Shamsi.

Beberapa bulan kemudian, Shamsi ditawari pimpinan pondok pesantren belajar ke Pakistan. Ia pun melanjutkan studi di International Islamic University. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia menjadi muazzin (tukang adzan) di Masjid Faisal, masjid terbesar di Islamabad.

Jenjang S1 dalam bidang Tafsir diselesaikan tahun 1992. Ia kemudian melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan jenjang S2 di universitas yang sama tamat tahun 1994, dengan memilih bidang Perbandingan Agama.

Hingga akhirnya ada tawaran mengajar di Jeddah, Arab Saudi, yang langsung disetujuinya. Di Jeddah ini, Shamsi sering memberikan ceramah manasik haji di KJRI Jeddah.

Pada saat ceramah manasik haji, Shamsi bertemu dengan Wakil Tetap RI untuk PBB New York, Nugroho Wisnumurti. Nugroho mengundang Shamsi untuk memimpin masjid Indonesia yang sekarang bernama Masjid Al Hikmah di New York, sembari menjadi staf Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI).

Sebelumnya ia memang mempunyai keinginan melanjutkan pendidikan ke luar negeri yakni antara di Inggris atau Amerika. Sehingga pada saat ditawari ke Amerika ia pun setuju.

"Pertama kali tiba di Amerika Serikat saya khawatir," tambahnya. Menurutnya, ia berada di sebuah negara yang bebas segala rupa. Hal ini berbeda saat masih di Jeddah.

Namun kekhawatiran itu berubah saat bertemu dengan orang yang lebih beragam. Dia pun bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda-beda.

Ia mempunyai tetangga dari latar belakang agama yang berbeda mulai dari Protestan, Katolik, Sikh, dan Hindu. Ia memiliki sepasang tetangga beragama Katolik, setiap pagi ia membersihkan taman depan rumah dan selalu menyapa Shamsi dan istrinya dengan ramah sambil mengatakan, "Hai good morning".

Mereka tahu kami Islam karena istri saya pakai jilbab tapi mereka sangat ramah. Meski boleh jadi ada yang berbeda secara fundamental, namun Shamsi meyakini ada sisi positif dari semua orang sehingga bisa terbangun kerja sama antarorang yang beragam itu.

Black September
Saat penyerangan World Trade Center (WTC) 11 September, Shamsi mengaku sedang berada dalam kereta. "Orang menyangka ada kebakaran. Kita nonton TV, gedung kembar ditabrak," kenangnya.

Namun bagaimana dengan reaksi media saat itu, yang pertama kali ditayangkan CNN menampilkan orang Palestina yang bergembira dan berdansa.

Pada saat itu ia mengetahui bahwa peristiwa itu sangat berat apalagi pada saat perjalanan di kereta tersebut ia banyak mendengar orang-orang mencaci Islam.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved