Sri Sultan: Dukungan Negara terhadap Maritim Masih Lemah
Keberpihakan negara terhadap dunia maritim dinilai masih lemah hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena belum adanya visi maritim yang jelas
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberpihakan negara terhadap dunia maritim dinilai masih lemah hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena belum adanya visi maritim yang jelas di negeri bahari tersebut.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan, bayang keinginan mewujudkan visi maritim sebagai mainstream pembangunan menghadapi kendala pragmatis.
"Paradigma darat atau agraris masih kuat melekat pada kebanyakan masyarakat, termasuk pemerintahannya. Bangsa ini juga masih mengidap kerancuan idetitas," ujar Sultan dalam keterangannya saat berdiskusi bersama pengurus HMI, Kamis (5/7/2012).
Menurut Sultan, Indonesia pada satu sisi memiliki persepsi kewilayahan Tanah Air, tapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup disejahterakan.
Sedangkan kegiatan industri modern, menurutnya, sulit berkompetensi, karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi.
"Industri pun tidak berdasar keunggulan kompetetif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan cenderung ke jenis foot-loose industry, seperti tekstil, sepatu, dan elektronika, selain industri tanpa memasukkan keilmuan dan teknologi yang kuat hasil temuan bangsanya sendiri," paparnya.
Dijelaskan Sultan, pada masa lalu ketenaran mengarungi lautan bukan barang baru bagi pelaut Indonesia.
Misalnya, sebut Sultan, orang Bugis dengan perahu layar Phinisi atau masyarakat Biak Numfor dengan perahu dagang Way Mansusu serta perahu perang Way Ron.
Begitu juga dengan orang-oramg Buton yang berlayar berbulan-bulan di atas kapal kayu hasil karya mereka.
Namun, sambung Sultan, dalam perkembangannya kejayaan masa lalu di sejumlah daerah tersebut hilang ditelan zaman.
"Karena tidak adanya visi membuat pembangunan di sektor bahari, dan hanya sekedar formalitas belaka. Akibatnya timbullah masalah-masalah aktual di lapangan, seperti pembatasan dengan negara-negara tetangga, illegal fishing, infrastruktur kemaritiman, seperti armada laut yang jauh dari memadai," paparnya.
Menurutnya, wilayah Indonesia masa lampau, dengan laut, selat dan teluk yang melingkupinya, menjadi jalur utama perniagaan yang menghubungkan kawasan Timur (daratan Tiongkok) dan Barat (India, Persia, Eropa).
Peran ini, kata Sultan, berlangsung selama berabad-abad dengan 'tuan' dan 'nahkoda' yang datang silih berganti.
KLIK JUGA: