Minggu, 5 Oktober 2025

Demo Tolak RUU KUHP dan KPK

Mahasiswa Unjuk Rasa di Depan Gedung DPRD Bekasi, Tolak RKUHP dan UU KPK Hasil Revisi

Kali ini, sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasanya di Gedung DPRD Kota Bekasi

TribunJakarta.com/Yusuf Bachtiar
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Kota Bekasi, Kamis (26/9/2019) 

TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Gelombang unjuk rasa penolakan terhadap Revisi KUHP (RKUHP) dan UU KPK hasil revisi hingga hari ini, Kamis (26/9/2019).

Kali ini, sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasanya di Gedung DPRD Kota Bekasi.

Baca: Polri: 4 Tersangka Unjuk Rasa di Jawa Barat Diduga Anggota Anarcho-Syndicalism

Imbas unjuk rasa ini, Jalan Chairil Anwar depan gedung parlemen ditutup.

Awalnya, aksi unjuk rasa ini dilakukan tanpa menggunakan badan jalan, namun lama kelamaan, mahasiswa justru memblokade dan menutup arus lalu lintas.

Pihak kepolisian yang mengawal terpaksa mengalihkan arus kendaraan.

Kepadatan arus lalu lintas pun terjadi terutama di Simpang Unisma ke arah Pintu Tol Bekasi Timur dan Simpang Rumah Sakit Mitra Bekasi Timur ke arah sebaliknya.

Massa aksi menggelar orasi, mereka meminta masuk ke dalam gedung untuk bertemu dengan anggota DPRD Kota Bekasi.

Polisi yang mengawal aksi mereka membuar barikade pemahan depan gerbang dibantu personel Satpol PP Kota Bekasi.

Protokoler DPRD Kota Bekasi sempat turun dan memperbolehkan perwakilan mahasiswa.

Baca: Polisi Tetapkan 99 Tersangka Unjuk Rasa di Sejumlah Wilayah Indonesia

Namun mereka tetap memaksa menuntut untuk masuk ke dalam gedung.

Mereka juga menuntut tindakan represif anggota kepolisian terhadap mahasiswa dalam aksi besar-besaran di depan gedung DPR/MPR Jakarta pada, Selasa (24/9/2019) lalu. (Yusuf Bachtiar)

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul: Unjuk Rasa Tolak RKUHP Terjadi Lagi, Jalan Depan Gedung DPRD Kota Bekasi Ditutup

Saran Mahfud MD kepada Jokowi

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengatakan, sebaiknya pemerintah bersama Kepolisian RI melakukan tindakan persuasif terhadap para demonstran yang melakukan aksi selama beberapa hari terakhir.

Menurut Mahfud, cara ini akan lebih efektif dibandingkan tindakan represif dan kekerasan.

"Yang harus dilakukan ya dengan persuasif, terlebih lagi kalau ada pelajar yang berbuat kerusuhan, agak susah bila ditindak secara hitam-putih," kata Mahfud saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/9/2019).

Setelah selama beberapa hari digelar aksi demonstrasi oleh mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat, pada Rabu (25/9/2019) kemarin, para pelajar juga ikut turun ke jalan.

Baca: Anies Yakin Petugas Ambulance yang Diamankan di Polda Sudah Bekerja Sesuai SOP

Baca: Ramai Mahasiswa Demo Tolak UU KPK dan RKUHP, Iwan Fals Beri Tanggapan

Mahfud mengatakan, demo yang dilakukan pelajar hanya sebagai ajang pembuktian diri.

"Kalau anak-anak itu kan sekarang ikut demo seperti menjadi gaya hidup. Mereka tidak tahu apa tujuan sebenarnya dari demo yang mereka lakukan," kata Mahfud.

"Kalau saya lihat laporan dari beberapa media, mereka tidak tahu RUU itu apa, katanya mereka demo menolak RUU, ditanya RUU enggak ngerti. Artinya kan ini dijadikan sebagai gaya hidup baru, Kalau ikut demo itu merasa keren," lanjut dia.

Mahfud menduga, ada auktor intelektualis di balik aksi yang dilakukan para pelajar.

"Pasti ada auktor intelektualis hebat, bagaimana sebuah demo dihadiri oleh begitu banyak SMA dari berbagai kota," kata Mahfud.

"Harus dicari dengan hati-hati (auktor intelektualis). Karena demo adalah hak dan memang saat ini sedang ada momentum soal RUU yang kontroversial," ujar dia.

Seperti diberitakan, sejak Senin (23/9/2019) hingga Rabu (25/9/2019), berlangsung aksi demo oleh mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat lainnya.

Massa aksi menuntut Presiden Joko Widodo mencabut UU KPK versi revisi dan menunda pengesahan sejumlah RUU lainnya, salah satunya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP).

Hingga Rabu (25//9/2019) dini hari, setidaknya 232 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan hingga Sulawesi Selatan tersebut.

Tak hanya dari kalangan mahasiswa yang terluka, sejumlah wartawan, masyarakat sipil, dan aparat keamanan juga turut menjadi korban.

Menunggu suara Jokowi

Aksi massa di sejumlah daerah terjadi sejak awal pekan, Senin (23/9/2019) hingga Rabu (25/9/2019) kemarin.

Massa menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versi revisi dan penundaan pembahasan sejumlah RUU lainnya.

Penundaan pembahasan 4 RUU sudah dipenuhi, tetapi mengenai UU KPK, Presiden Jokowi tak akan mencabutnya.

Aksi masih terus terjadi, dan ratusan orang menjadi korban luka dari sejumlah wilayah, seperti Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan.

Baca: 5 Ambulans Pemprov DKI Ketahuan Angkut Batu dan Bensin Saat Rusuh di Gedung DPR

Baca: Cerita Warga Tolong Mahasiswa Demo Pingsan karena Gas Air Mata, Rumah Tampung Puluhan Orang

Hingga kemarin, komunikasi yang dilakukan pemerintah merespons situasi terkini dilakukan oleh para menteri.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi mengatakan, meskipun situasi dan isu yang berkembang bisa ditangani oleh menteri terkait, tetapi mengenai perkembangan yang terjadi, Presiden Jokowi dinilainya harus memberikan respons langsung.

"Saya kira kalau dari kewenangan, isu, dan situasi ini bisa ditangani oleh Menko Polhukam dan Kepala KSP. Tapi, perkembangan situasi mutakhir nampaknya menuntut respons langsung Presiden," ujar Kuskridho Ambardi, yang biasa disapa Dodi, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/9/2019).

Menurut Dodi, cara berkomunikasi Presiden dengan mendelegasikan kepada para menterinya untuk berbicara ke publik tidak akan meredam situasi dan gejolak di masyarakat.

"Karena, dalam banyak protes itu merujuk pada Presiden. Sehingga, jika Presiden tidak meresponsnya secara langsung, justru akan menjauhkannya dari peluang merebut simpati," ujar Dodi.

"Apalagi jika cara berkomunikasi Menko Polkam dan Kepala KSP kurang empati," kata dia.

Dodi menilai, apa yang dilakukan Ketua DPR Bambang Soesatyo dengan menjenguk korban demontrasi lebih simpatik, terlepas dari ada intensi politik di baliknya.

Bola panas di tangan Presiden

Aksi yang dilakukan mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat lainnya tak hanya mengarah kepada tuntutan Presiden untuk membatalkan UU KPK, tetapi juga menyoroti kinerja DPR.

Sementara, suara partai merespons serangkaian aksi ini juga tak banyak terdengar.

Menurut Dodi, partai memilih tak banyak berbicara karena "bola panas" saat ini ada di tangan Presiden.

Sebab, Presiden palang terakhir untuk menunda UU, atau yang berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait UU KPK.

Situasi seperti ini dinilainya lebih menguntungkan partai.

"Situasi ini lebih menguntungkan partai. Meskipun demo juga merambah ke Senayan, urutan palang pintu itu yang paling akhir tetap Presiden," ujar Dodi.

Ia mengatakan, sikap untuk memilih diam adalah sebaik-baik taktik politik bagi partai dan DPR untuk saat ini.

Terakhir, pada Senin (23/9/2019), Presiden Jokowi merespons tuntutan massa aksi dengan mengatakan tak akan mengeluarkan Perppu dan tak akan mencabut UU KPK hasil revisi yang telah disahkan DPR.

Pernyataan ini disampaikan Presiden pada Senin petang, saat aksi di beberapa daerah mulai terjadi.

Dalam perkembangannya, aksi semakin meluas dan terjadi tindak kekerasan terhadap massa aksi.

Ratusan orang mengalami luka-luka dan menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit.

Terkait perkembangan situasi ini, Menko Polhukam Wiranto meminta tidak ada lagi aksi demonstrasi terkait penolakan sejumlah rancangan undang-undang (RUU).

Menurut dia, beberapa RUU sudah dinyatakan ditunda pengesahannya oleh DPR, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan (PAS).

Oleh karena itu, ia menilai bahwa aksi demonstrasi dinilai sudah tidak lagi relevan.

"Dengan adanya penundaan itu yang didasarkan oleh kebijakan pemerintah untuk lebih mendengarkan suara rakyat maka sebenarnya demonstrasi-demonstrasi yang menjurus kepada penolakan Undang-Undang Pemasyarakatan, RKUHP, Ketenagakerjaan, itu sudah enggak relevan lagi, enggak penting lagi," kata Wiranto dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Polhukam, Selasa (24/9/2019).

Sementara itu, pada Rabu kemarin, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan, sikap Presiden Jokowi tak akan berubah. Tak akan mencabut UU KPK.

Sumber: TribunJakarta
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved