Rabu, 1 Oktober 2025

Karena Tiga Hal Ini, Polusi Udara di Jakarta 'Mustahil' Diberesin

Resistensi pemerintah, dalam konteks ini Pemprov DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Ibu Kota tidak dalam kondisi buruk

Editor: Hendra Gunawan
zoom-inlihat foto Karena Tiga Hal Ini, Polusi Udara di Jakarta 'Mustahil' Diberesin
TRIBUN/HO
Komunitas anak muda Yayasan KEHATI Biodiversity Warriors melakukan proses pengamatan burung di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara, Sabtu(11/5/2019). Kegiatan tersebut digelar untuk membarui data temuan burung air dalam rangka Hari Burung Migrasi Sedunia dengan mengangkat tema Lindungi Burung: Jadi Solusi Terhadap Polusi Plastik. TRIBUNNEWS/HO

Jakarta menempati urutan pertama untuk kota paling polusi udara di Asia Tenggara.(Bidik layaar Instagram @greenpeaceid) Jika menggunakan parameter pemerintah selama ini, yakni PM 10, WHO menetapkan bahwa kualitas udara "baik" jika jumlah PM 10 maksimal sebanyak 20 ug/m3 (mikrogram per meter kubik).

Sementara itu, versi Kementerian LHK, kualitas udara "baik" ditoleransi hingga 51 ug/m3.

KPBB mencatat, sekalipun pemerintah menggunakan PM 2,5 sebagai parameter, standarnya pun jauh lebih longgar.

Baca: Polda Sulut Imbau Masyarakat Tak Menyebarkan Hoaks Terkait Kematian Kopda Lucky Prasetyo

Baca: 7 Kriteria Calon Suami Bikin Wanita Berlimpah Bahagia, Termasuk Tak Terlalu Pendiam, Bukan Anak Mami

Baca: Soal Parpol Gabung Koalisi Jokowi, Pengamat Sebut Konsistensi PKS sebagai Oposisi Patut Diapresiasi

Dikutip dari data KPBB, konsentrasi PM 2,5 sebesar 65 ug/m3 dikategorikan "sangat tidak sehat" oleh WHO, sedangkan pemerintah mengategorikannya "sedang".

"Rata-rata konsentrasi PM 2,5 di Jakarta itu 45,6 ug/m3 pada 2018 dan dianggap "sedang" oleh pemerintah. Padahal menurut WHO itu sudah kategori "tidak sehat" (35-55 ug/m3). Ini polemik tolok ukur," kata Puput.

Puput juga menilai, pemerintah tak pernah merevisi standar ISPU walau zaman sudah banyak berubah sejak Keputusan Menteri Lingkungan Hidup diundangkan pada 1997.

Padahal, pemerintah melalui PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara membuka kemungkinan bagi peninjauan ulang baku mutu udara setiap lima tahun.

"Ini artinya sudah 20 tahun, tapi enggak pernah direvisi," ujar Puput.

Revisi ini dinilai penting untuk menentukan langkah pengendalian pencemaran udara, terlebih di Jakarta.

Standar WHO tentu layak dijadikan acuan.

"Namanya manusia kan seluruh dunia kurang lebih daya tahannya terhadap polusi kan sama. Kalau pakai aturan pemerintah kita, orang Indonesia seakan lebih sakti terhadap pencemaran udara dibanding orang Amerika, Eropa, Cina, dan sebagainya," kata Puput.

"Standar WHO ini kan sangat mendasar dalam perlindungan manusia, apalagi kita punya konvensi yang ditandatangani, sudah diratifikasi di PBB. Ngapain kita kok enggak pakai?"

Pemerintah diminta tidak berkelit

Resistensi pemerintah, dalam konteks ini Pemprov DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Ibu Kota tidak dalam kondisi buruk dinilai bisa memperburuk penanganan masalah polusi udara itu sendiri.

"Pemerintah enggak usah takut, harusnya ini dihadapi dengan penjelasan pada publik dan mengambil langkah konkret. Jangan sibuk resisten bertahan atau membantah bahwa tidak terjadi pencemaran," desak Puput.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved