Selasa, 30 September 2025

Karena Tiga Hal Ini, Polusi Udara di Jakarta 'Mustahil' Diberesin

Resistensi pemerintah, dalam konteks ini Pemprov DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Ibu Kota tidak dalam kondisi buruk

Editor: Hendra Gunawan
zoom-inlihat foto Karena Tiga Hal Ini, Polusi Udara di Jakarta 'Mustahil' Diberesin
TRIBUN/HO
Komunitas anak muda Yayasan KEHATI Biodiversity Warriors melakukan proses pengamatan burung di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara, Sabtu(11/5/2019). Kegiatan tersebut digelar untuk membarui data temuan burung air dalam rangka Hari Burung Migrasi Sedunia dengan mengangkat tema Lindungi Burung: Jadi Solusi Terhadap Polusi Plastik. TRIBUNNEWS/HO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Buruknya kualitas udara di Jakarta jadi perbincangan belakangan ini setelah penyedia data polusi kota-kota besar dunia, AirVisual pada Selasa (25/6/2019) lalu, menunjukkan Jakarta masuk dalam empat kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago.

Selasa pagi itu, indeks kualitas udara Jakarta menyentuh angka 164, masuk dalam kategori tidak sehat (151-200).

Namun, Pemprov DKI melalui Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih berdalih, kualitas udara Jakarta tak seburuk itu.

Ia menjelaskan, standar pengukuran pencemaran udara versi pemerintah dan AirVisual tidak sama.

Perbedaan parameter polusi udara

Andono Warih menyatakan, standar pengukuran pencemaran udara di Indonesia, termasuk Jakarta, bersandar pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Dokumen itu hanya mengatur standar untuk menghitung ISPU di Indonesia menggunakan parameter partikel debu berukuran 10 mikron (PM 10).

Sementara itu, data AirVisual menggunakan parameter PM 2,5, partikel debu berukuran kurang dari 2,5 mikron.

Baca: Luncurkan Aisumaki, Susi Pudjiastuti Ajak Anak-anak Gemar Makan Ikan

Baca: Resmi Bubar, Koalisi BPN Wacanakan Forum Komunikasi

Baca: Kisah Dewi, Mahasiswi Asal Semarang yang Fotonya Mendunia Karena Salaman dengan Paus

Baca: Tes Kepribadian: Ekspresi Wajah yang Kamu Pilih dapat Mengungkapkan Bagaimana Karaktermu

Saking halusnya, partikel 2,5 mikron sanggup menembus masker dan sulit disaring oleh bulu hidung, sehingga besar kemungkinan menyusup sampai paru-paru dalam jumlah besar.

Bahaya ini juga diakui oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO. Menurut WHO, PM 10 masuk kategori partikulat kasar yang dampaknya terhadap kesehatan tidak separah PM 2,5.

"Partikel 10 mikron bisa masuk dan mengendap di paru-paru. Tapi, yang lebih berbahaya lagi yakni partikel berukuran kurang dari 2,5 mikron yang bisa menembus sekat paru-paru dan masuk ke aliran darah," tulis WHO dalam situs resminya.

Bus Kopaja melintas di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (26/7/2018). 
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno melarang angkutan umum seperti Kopaja dan Metromini melewati jalan protokol saat penyelenggaraan Asian Games 2018 untuk mengurangi kemacetan dan polusi. Tribunnews/Jeprima

Standar pemerintah tak sesuai zaman

Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin alias Puput menilai, polemik soal perbedaan standar parameter pencemaran udara versi pemerintah dan WHO tak berhenti pada PM 2,5 dan PM 10.

Pemerintah menerapkan standar ISPU yang terlalu longgar dibandingkan standar WHO yang mestinya jadi acuan internasional.

"Ini sebabnya, masyarakat sipil mengatakan terjadi pencemaran, kondisi udara tidak sehat, tapi pemerintah bilang masih sedang, masih aman. Karena masyarakat sipil menggunakan standar WHO," kata Puput kepada wartawan, Jumat pekan lalu.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved