Senin, 6 Oktober 2025

Child Worker

Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu

Putus sekolah dari bangku SD, jadi tukang semir sepatu demi bisa setor uang belanja untuk ibunda. Itulah Ukat, bocah tukang semir sepatu.

Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_11.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Ukatma, bocah tukang semir sepatu di Stasiun Palmerah, Jakarta Barat. Ia putus sekolah demi membantu mencari uang belanja untuk ibunya.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_21.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Jumlah anak putus sekolah dan memutuskan jadi penyemir sepatu di sejumlah stasiun antara Serpong dan Tanah Abang kian banyak.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_31.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Di masa usia sekolah, bocah remaja ini jualan sate di kawasan Jombang, Tangerang Selatan.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - IMG009571.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Sebagian anak putus sekolah memilih jadi ojek payung di Stasiun Kebayoran, Tanah Abang, Tanah Abang maupun Serpong.

"Mana bisa, Om (sekolah disambi kerja)? Ini saya bisanya kerja setelah lulus SD. Pas masih sekolah ya nggak bisa. Tapi saya masih untung. Cuma saya yang lulus SD (Sekolah Dasar), teman-teman penyemir lainnya paling banter sampai kelas lima. Tapi saya sendiri nggak nerusin ke SMP. Nggak ada duit, ” kata Aji, bocah penyemir sepatu yang beroperasi di gerbong Kereta Api Ekonomi jurusan Tanah Abang – Rangkas Bitung kepada Tribunnews.

"Ya, dia mah lumayan bisa lulus. Saya cuma sampai kelas dua,” sahut Mahdi, bocah penyemir sepatu berkulit gelap dan berambut subur itu. Bagi mereka, sangat sulit untuk bekerja serabutan tanpa meninggalkan bangku sekolah. Mereka justru melihat bersekolah itu sebagai beban ekonomi keluarga.

"Kalau saya sekolah dan nggak kerja nyemir kayak begini, emak (ibu) belanja pakai apa?” timpal Aji lagi. Sulitnya bekerja sembari bersekolah juga diutarakan Ukatma. Bagaimana bisa bersekolah? Pagi-pagi buta ia harus bangun tidur.

Tanpa sempat melahap sarapan, ia buru-buru menumpang Kereta Ekonomi dari arah Rangkas Bitung menuju Tanah Abang yang singgah di Stasiun Parung pukul 05.00 WIB. Tanpa pedulikan perut keroncongan, ia langsung memburu para penumpang dari kalangan karyawan kantoran yang mengenakan sepatu kulit untuk ditawari jasa semir sepatu.

Tanpa tiket, ia setengah sembunyi-sembunyi dari pengawasan masinis kereta. Karena mayoritas penumpang kereta ekonomi dari Rangkas Bitung adalah pedagang, Ukat sering sepi order. Maklum, para pedagang tak  bersepatu kulit melainkan bersandal jepit.

Karena itu, Ukat lantas menyisir rezeki dari stasiun ke stasiun, terutama StasiunKebayoran, Palmerah dan Tanah Abang. Di tiga stasiun ini cukup banyak karyawan kantoran yang duduk-duduk dan berdiri menunggu datangnya Kereta full AC Commuter Line.

Merekalah target  'marketing’ empuk anak-anak penyemir ini. Lembaran-lembaran rupiah membuat Ukat bersemangat menawarkan jasanya sampai tak terasa matahari sudah berada di ufuk barat.

"Dapat duit berapa pun, badan capek atau enggak, pokoknya kalau sudah jam setengah lima sore saya harus cabut (pulang),” kata Ukat. Ia pulang balik ke Parung Bogor menumpang kereta kelas ekonomi yang penuh sesak penumpang. Kereta itu berangkat dari Stasiun Palmerah pukul 16.30 ke arah Rangkas Bitung.  Ia baru tiba di rumahnya di Parung Bogor dua jam kemudian atau pukul 18.30 WIB.

Kalau dihitung-hitung,  jam kerja” Ukat jauh lebih lama dibanding kalangan karyawan kantoran yang jadi pelanggannya. Padahal Ukat dan kawan-kawannya bayarannya jelas jauh lebih tak manusiawi. 

Ukat dan teman-temannya sesama penyemir dari Parung  berangkat 'kerja' pukul 05.00 pagi dan baru balik arah pada pukul 16.30 alias 11,5 jam dia habiskan seharian di lingkungan yang keras. Sementara karyawan kantoran yang bekerja di lingkungan nyaman (full AC dan bersih) baru berangkat dari rumah rata-rata pukul 07.30 dan meninggalkan kantor rata-rata pukul 15.30 WIB alias  'hanya' delapan jam kerja.

Para pekerja kantoran dilindungi jaminan sosial, sementara Ukat, Aji, Mahdi dan puluhan bocah tukang semir lainnya tidak. Mereka juga dibayang-bayangi masa depan yang tak pasti. Mereka terjebak pada kondisi itu karena faktor kemiskinan keluarganya. Padahal, betapa indahnya membaca bunyi Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 34 ayat 1,  Fakis miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” (Agung Budi Santoso)

Statistik Pekerja Anak

- Data ILO 2012, total jumlah pekerja anak Indonesia sebanyak 2,3 juta. Sebagian besar     di  Indonesia Timur.

- Kategori pekerja anak menurut ILO adalah usia 7-14 tahun.

- Tahun 2012, pemerintah berjanji 'membebaskan' 10.750 anak dari tempatnya bekerja,kembali ke sekolah.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved