Minggu, 5 Oktober 2025

Child Worker

Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu

Putus sekolah dari bangku SD, jadi tukang semir sepatu demi bisa setor uang belanja untuk ibunda. Itulah Ukat, bocah tukang semir sepatu.

Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_11.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Ukatma, bocah tukang semir sepatu di Stasiun Palmerah, Jakarta Barat. Ia putus sekolah demi membantu mencari uang belanja untuk ibunya.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_21.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Jumlah anak putus sekolah dan memutuskan jadi penyemir sepatu di sejumlah stasiun antara Serpong dan Tanah Abang kian banyak.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_31.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Di masa usia sekolah, bocah remaja ini jualan sate di kawasan Jombang, Tangerang Selatan.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - IMG009571.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Sebagian anak putus sekolah memilih jadi ojek payung di Stasiun Kebayoran, Tanah Abang, Tanah Abang maupun Serpong.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
"Semir ya Om?” sapa seorang bocah tukang semir kepada seorang lelaki paruh baya di Stasiun Kereta Api (KA) Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (17/10/2012). 

"Oh, enggak makasih. Bentar lagi keretanya datang,” jawab lelaki berpostur tambun yang juga calon penumpang Kereta Commuter  Line jurusan Tanah Abang – Serpong itu, dalam nada cuek.

"Masih lama kok, Om keretanya. Nyemir paling tiga menit kelar,” kata bocah tukang semir itu dalam nada merayu. 

"Nanti kalau keretanya tiba-tiba dateng, gimana?” kata lelaki itu sembari menggeleng-geleng kepala isyarat tetap menolak.

Tak mau  target 'buruannya' lolos, si bocah itu kembali melancarkan rayuan.  "Dijamin deh Om, keburu! Tenang aja, nanti kalau nggak keburu Om nggak usah bayar deh, ” ujar si bocah sembari senyum-senyum menggoda konsumennya.

"Eeeit, ini bukan soal bayar. La kalau nggak keburu kan sepatuku bisa belang-belang karena nggak tuntas nyemirnya?” jawabnya. Seolah tak kehabisan akal, bocah tukang semir itu kembali melancarkan jurus pamungkasnya.

"Gini aja deh, Om. Biar aku panggil temenku ya, jadi nyemirnya digarap berdua. Biar cepet, oke?” ujarnya, taktis. 

"Ya udah, ya udah!” jawab lelaki calon penumpang itu sembari melepas sepasang sepatu kulit warna hitam itu. Ukatma, 13 tahun, nama bocah tukang semir itu, lantas meminjamkan sandal jepitnya kepada lelaki calon penumpang kereta itu.

Sandal jepit selalu dipinjamkan Ukatma kepada konsumennya, agar pelanggan tetap bisa lalu-lalang selama sepatu disemir. Dengan sigap, Ukat menyemir sepasang sepatu  butut’ (karena sebagian permukaan kulitnya mengelupas) itu. Tangan mungilnya tak sebanding dengan kegesitannya menyemir. Dan dalam tempo kurang dari lima menit, sepatu itu berubah kinclong memesona.

"Sudah, Om!” kata Ukatma, sembari menerima selembar uang kertas dua ribuan yang disodorkan pemilik sepatu. Bocah manis yang terpaksa putus sekolah dari SD Babakan 4 Parung Bogor itu memang tidak hanya  'profesional’ dalam urusan menyemir tapi juga dalam memasarkan jasanya kepada konsumen.

Tanpa belajar ilmu marketing, Ukat memainkan naluri dan instingnya agar calon pelanggan yang diburunya tidak sampai  lolos.  Ketika tawaran semir ditolak, ia memainkan argumentasi sederhana tapi mudah dimengerti sehingga target yang disasarnya luluh.

Bisa dibayangkan, kalau anak ini beranjak besar, betapa bakat alami marketingnya relatif mudah diasah lewat pendidikan formal. Sebab talentanya sudah tampak dari usia belianya. Tapi sayang, untuk saat ini, mengenyam pendidikan formal baru sebatas impian bagi anak ketiga dari empat bersaudara yang tinggal di Parung Bogor ini.

"Cuma sampai kelas lima (SD), nggak ada duit buat nerusin,” gumam Ukatma kepada Tribunnews. Di lingkup keluarganya, Ukat tidak sendirian. Dua kakaknya mengalami nasib serupa, yakni putus sekolah.  Dua kakak saya kerja cuci mobil,” tuturnya. Untung, adiknya masih bersekolah kelas 5 SD. Tapi Ukat juga tidak menjamin apakah sang adik bisa sampai lulus dan meneruskan ke tingkat SMP dan SMU.

Sial dan Keberuntungan

Tapi bocah yang masih polos itu terkesan tak menyesal drop out dari bangku SD. Dengan menjadi tukang semir, ia merasa bisa membantu uang belanja ibunya.  "Duitnya (hasil menyemir) saya kasih ke ibu semua. Kalau mau jajan, ya saya minta ke ibu juga, ” tuturnya.  Seharian menyemir, paling kecil Ukat meraup uang Rp 30 ribu dan paling banyak Rp 40 ribu. Hari keberuntungan baginya adalah tiap Jumat.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved