Child Worker
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu
Putus sekolah dari bangku SD, jadi tukang semir sepatu demi bisa setor uang belanja untuk ibunda. Itulah Ukat, bocah tukang semir sepatu.




Sebab selain menyemir dari stasiun ke stasiun, Ukat bisa memburu rezeki dengan menyemir sepatu milik para jama’ah Sholat Jum’at di masjid komplek Kementerian Kehutanan di Gedung Manggala Wana Bakti yang berseberangan dengan Stasiun Palmerah.
Anehnya, Ukat dan teman-teman sesama penyemir tak pernah mematok tarif. Makin banyaknya bocah tukang semir membuat persaingan makin sengit. Akibatnya, tarif semir pun dibanderol sukarela. "Kebanyakan sih dikasih Rp 2 ribu, kadang-kadang ada yang ngasih lebih juga, " sahut Nurman, bocah tukang semir lainnya yang juga bersekolah hanya sampai kelas 5 SD itu.
Selain hari keberuntungan, Ukat dan teman-temannya terkadang mengalami sial juga. Kadung ngos-ngosan menyemir, ternyata nggak dibayar. Bukannya protes, Ukat mengaku buru-buru pergi menghindar dari konsumen model begni. "Saya justru takut kalau ada yang nggak bayar. Takut digertak kalau aku minta bayaran,” tuturnya, polos.
Pengamatan Tribunnews, jumlah bocah tukang semir ini dari hari ke hari makin banyak saja . Setahun silam, penyemir hanya tampak 1-2 orang saja di tiap stasiun sepanjang Stasiun Tanah Abang, Palmerah, Kebayoran, Pondok Ranji, Sudimara, Rawa Buntu hingga Serpong. Tapi kini, bisa lebih dari lima bocah di tiap stasiun.
Ini belum termasuk pekerja anak (child worker) yang mengais rezeki dengan menjadi tukang sapu dari gerbong ke gerbong kereta, memulung botol dan gelas plastik bekas kemasan air mineral, mengamen, jualan tahu Sumedang, jualan otak-otak, ojek payung dan macam-macam pekerjaan serabutan lainnya.
Mereka adalah bagian dari anak-anak yang bekerja di bawah umur yang secara nasional mencapai 878,1 ribu pada tahun 2011 (data Bappenas). Selain angka itu, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana, jumlah anak berusia 10-14 tahun yang sedang berburu pekerjaan mencapai 174,5 ribu.
Sementara jumlah anak usia 10-14 tahun, menurut Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah sebesar 22,0 juta. Artinya, hampir 5 persen anak Indonesia berusia 10-14 yang seharusnya bersekolah, ternyata memeras keringat dengan bekerja dan sebagian lain sedang mencari pekerjaan.
Jumlah yang amat tinggi sekaligus membahayakan masa depan anak-anak maupun bangsa di masa depan (Antaranews.com, 21 Juni 2012). Padahal usia seseorang bekerja, menurut Bappenas, adalah 15 tahun ke atas.
Faktor kemiskinan menjadi pemicu utama anak-anak bekerja di bawah umur, baik karena dorongan orangtua maupun keinginan diri sendiri. Menurut Wikipedia, istilah pekerja anak berkonotasi sangat buruk karena dapat bermakna pengeksploitasian anak kecil , dengan penghasilan tak manusiawi.
Pekerja anak berbahaya juga karena pertimbangan perkembangan kepribadian mereka lantaran tumbuh di lingkungan liar dan keras, ancaman keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.
.
Biarpun sebagian anak merasa asyik dengan dunia bekerja (karena meraup uang lebih untuk jajan) hal tersebut tetap tidak menjamin masa depan anak tersebut. Di sebagian negara berkembang, argumentasi pelarangan seperti ini ini dianggap melanggar hak manusia.
Tapi di negara-negara kaya dan maju dianggap sebaliknya yakni melanggar hak anak. Sementara di negara-negara miskin pekerja anak masih terus diizinkan pemerintahnya karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.
Di Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebut, 26 persen pekerja anak mencari rezeki di lingkungan yang berbahaya bagi bocah seusia mereka. Antara lain mengamen di jalanan, bekerja di pabrik yang berurusan dengan bahan kimia, prostitusi, bahkan bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga.
Solusi Pekerja Anak
Merespon pro dan kontra tentang pekerja anak, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Usaha Kecil Menengah, Nina Tursina, memberi jalan tengah. Menurutnya anak-anak dibolehkan bekerja tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat, dan ini berlaku bagi pekerja anak laki-laki maupun perempuan.
"Anak-anak boleh kerja, tetapi maksimal tiga jam, pekerjaannya tidak membahayakan, dan mereka tetap sekolah," ujar Nina, Kamis (11/10/2012), di Jakarta seperti dilansir Tribunnews.com. Tapi apa faktanya di lapangan? Apakah mereka bekerja tanpa meninggalkan urusan sekolah?