Program Makan Bergizi Gratis
Polemik MBG, Ketika Burger & Spaghetti Masuk Daftar Menu, Pangan Segar Indonesia Terpinggirkan
Menu Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai polemik. Bukan pangan lokal yang disajikan, justru burger dan makanan instan lain di menu.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menu Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan menuai polemik.
Harapan masyarakat untuk melihat anak-anak menikmati nasi, lauk segar, sayur, dan buah lokal ternyata faktanya berbeda.
Baca juga: Review MBG, Ketika Rakyat Ikut Mengawal Janji Politik Makan Bergizi Gratis
Pada kenyataannya, burger, mie instan, sosis, hingga spaghetti kemasan masuk dalam daftar menu.
Kondisi ini memantik keprihatinan Dr Tan Shot Yen, dokter sekaligus pakar gizi masyarakat.
Dilansir dari kanal YouTube Kompas, ia menegaskan bahwa pemberian makanan ultra proses (Ultra Processed Food/UPF) dalam program sebesar MBG sama sekali tidak masuk akal.
Mengingat Indonesia kaya dengan sumber pangan segar dan beragam.
Pangan Lokal vs Pangan Kemasan
"Susu itu adalah hanya sekedar bagian dari protein hewan yang gak perlu-perlu banget juga, karena kita punya telur, daging ayam, ikan, sapi, bahkan termasuk daging babi di daerah yang non-Muslim. Jadi keragaman pangan itu menjadi kekayaan kita, menjadi suatu rasa pangan nasional, ini penting sekali,” ujar Dr Tan.
Menurutnya, penekanan pada UPF justru melemahkan nilai edukasi gizi yang semestinya dibawa MBG.

Anak-anak yang terbiasa diberi makanan kemasan bisa keliru memahami konsep gizi seimbang.
Mereka mungkin menganggap burger instan adalah makanan sehat hanya karena disajikan di sekolah.
Padahal, sejak 2014 Kementerian Kesehatan sudah menekankan perubahan paradigma dari konsep “4 sehat 5 sempurna” menjadi “gizi seimbang”.
Dalam konteks itu, susu bukanlah menu wajib, melainkan sekadar salah satu sumber protein di antara banyak pilihan lain yang lebih terjangkau dan kaya nutrisi.
Masalah UPF Bukan Hanya Impor

Dr Tan juga menyinggung bahwa masalah UPF bukan hanya produk impor, melainkan juga produk lokal.
Banyak makanan kemasan Indonesia ditolak di negara lain karena tidak memenuhi standar keamanan pangan internasional.
“Buat saya ini enggak masuk akal sama sekali,” tegasnya, mengkritisi dominasi junk food di menu MBG.
Kenyataan ini, menurutnya, memalukan sekaligus ironis. Di tengah melimpahnya hasil bumi Nusantara, anak-anak justru disuguhi makanan olahan yang miskin gizi.
Kondisi tersebut menimbulkan trust issue. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan, maka MBG bisa gagal mencapai tujuannya.
Padahal, sejak awal program ini diharapkan mampu menyatukan semangat pemerintah dan rakyat dalam memastikan hak anak untuk sehat.
Jalan Keluar: Edukasi dan Konsistensi
Dr Tan menekankan bahwa MBG bukan hanya soal distribusi makanan, melainkan juga edukasi gizi.
Menu seharusnya mengajarkan anak-anak tentang keragaman pangan Nusantara, pentingnya sayuran, buah, dan protein hewani segar.
Jika hal itu dilakukan, MBG dapat menjadi sarana pembelajaran praktis bagi anak-anak.
Yaitu mereka tidak hanya kenyang, tetapi juga memahami apa itu makan sehat.
Dengan begitu, generasi emas 2045 tidak hanya bebas stunting, tetapi juga tumbuh cerdas, sehat, dan berdaya saing.
“Kita tidak mau MBG ini lalu menjadikan suatu masalah di mana rasa percaya, trust issue, itu bermunculan di sana-sini,” tutup Dr Tan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.