Alergi Makanan pada Anak Makin Marak, IDAI Ingatkan Bahaya Makanan Olahan
Alergi makanan pada anak menjadi salah satu masalah kesehatan yang kian sering ditemui di masyarakat.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Alergi makanan pada anak menjadi salah satu masalah kesehatan yang kian sering ditemui di masyarakat.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan sehari-hari, tetapi juga bisa memengaruhi tumbuh kembang anak dalam jangka panjang.
Baca juga: Kasus Obesitas Meningkat, Kemenkes Imbau Masyarakat Waspadai Konsumsi Makanan Olahan
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), menegaskan bahwa tren konsumsi makanan olahan berlebih menjadi salah satu faktor utama meningkatnya alergi pada anak.
“Alhamdulillah siang hari ini kita kembali dengan topik yang banyak dijumpai di masyarakat. Alergi makanan pada anak," ungkapnya dalam seminar virtual yang diselenggarakan oleh IDAI, Rabu (17/9/2025).
Menurut dr Piprim, kondisi ini berkaitan dengan pola makan yang belakangan lebih banyak mengonsumsi makanan olahan.
"Dengan banyaknya makanan-makanan yang ultra processed food, yang tinggi glycemic index, yang refined carb, karbohidrat cepat serat, dan makanan-makanan lain yang juga berpotensi untuk mengganggu kesehatan anak kita,”lanjutnya.
Alergi Bisa Muncul Sejak Bayi

Fenomena alergi makanan, menurut Dr. Piprim, bahkan bisa muncul sejak bayi.
Salah satu yang paling sering dijumpai adalah alergi terhadap susu sapi.
Kondisi ini dapat terjadi ketika bayi terlalu cepat dikenalkan dengan susu formula.
“Oleh karena itu, beberapa upaya seperti ASI eksklusif ini juga bisa mencegah terjadinya kejadian alergi susu sapi ketika anak itu langsung diberikan susu formula,” jelasnya.
Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dinilai menjadi langkah sederhana namun efektif untuk menurunkan risiko alergi.
Selain itu, pola pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang tepat juga memengaruhi daya tahan tubuh anak.
Pentingnya Real Food untuk Anak
Di tengah maraknya makanan cepat saji dan tinggi gula, Dr. Piprim mengingatkan pentingnya mengembalikan anak-anak kepada “real food” atau makanan asli dari bahan segar.
“Sebisa mungkin anak-anak kita itu memang dikenalkan kembali dengan real food. Real food, masakan olahan yang berupa masakan-masakan rumah tangga yang kaya dengan aneka bumbu, kaya dengan protein hewani, dengan sayuran hijau. Ini saya kira tentu akan bisa lebih sehat dan juga bisa mencegah terjadinya stunting maupun obesitas,” tegasnya.
Dengan pola makan berbasis makanan rumah, risiko alergi bisa ditekan sekaligus melindungi anak dari dua masalah gizi ekstrem yaitu obesitas dan stunting.
Keduanya sama-sama dapat menghambat terbentuknya generasi emas Indonesia tahun 2045.
Gangguan Tumbuh Kembang Akibat Alergi
Alergi makanan yang berat dan berulang kali bisa mengganggu kesehatan jangka panjang.
Anak-anak yang mengalami alergi berulang berisiko mengalami keterlambatan tumbuh kembang, termasuk gangguan berat badan dan tinggi badan.
Dr. Piprim menekankan, edukasi gizi yang benar kepada orang tua adalah kunci utama pencegahan.
“Alergi makanan yang berat dan berulang kali tentu saja bisa juga mengganggu proses tumbuh kembangnya. Anak-anak yang berulang kali terkena alergi tentu saja tumbuh kembangnya terganggu dan bisa menghambat terciptanya generasi emas di 2045,” tuturnya.
Lebih lanjut, orang tua didorong lebih selektif dalam memilih makanan anak.
Mengurangi jajanan ultra processed food, memperbanyak masakan rumahan, serta menjaga keseimbangan gizi merupakan langkah nyata yang dapat dilakukan.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran orang tua tentang bahaya alergi makanan dan dampak jangka panjangnya, diharapkan kasus alergi yang mengganggu tumbuh kembang anak bisa ditekan.
Upaya sederhana seperti kembali ke makanan alami dapat membawa manfaat besar bagi kesehatan anak-anak Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.