Selasa, 7 Oktober 2025

Gumoh, Kolik, hingga Diare pada Bayi Sering Dikira Alergi Makanan, Ini Faktanya

Banyak orang tua sering bingung membedakan mana gejala normal pada bayi, mana yang benar-benar menunjukkan alergi makanan. 

Editor: Willem Jonata
Freepik
ILUSTRASI BAYI - Ilustrasi bayi yang diunduh dari situs Freepik, Selasa (16/9/2025). Kondisi terkini balita Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, yang mengeluarkan cacing dari mulut-hidung ketika dirawat di RSUD Taispada pada Minggu (14/9/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Banyak orang tua sering bingung membedakan mana gejala normal pada bayi, mana yang benar-benar menunjukkan alergi makanan

Salah kaprah inilah yang sering berujung pada overdiagnosis atau salah label, sehingga anak dan ibu menjalani pembatasan diet yang tidak perlu.

Menurut Bidang Ilmiah Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Endah Citraresmi, SpA Subsp.E.T.I.A (K), ada sejumlah mitos yang perlu diluruskan. 

Baca juga: Jangan Salah Kaprah, Ini Perbedaan Alergi dan Intoleransi Makanan pada Anak

Misalnya, gumoh dan kolik sering dikira alergi, padahal sebagian besar merupakan kondisi normal akibat imaturitas saluran cerna bayi.

“Bayi belum bisa mengkoordinasikan tekanan perut supaya bisa buang air besar atau buang angin, sehingga harus seperti kesakitan. Padahal ini proses yang normal,” jelas dr. Endah pada seminar virtual yang diselenggarakan IDAI, Rabu (17/9/2025)? 

Muntah dan GERD

Separuh bayi akan mengalami gumoh pada 3 bulan pertama, dan biasanya membaik pada usia 12–14 bulan. 

Namun, jika gumoh berlebihan hingga menyebabkan berat badan turun atau infeksi saluran napas berulang, maka baru perlu dicurigai sebagai penyakit gastroesophageal reflux disease (GERD) atau bahkan alergi makanan.

Diare pada Bayi

Diare juga kerap disalahartikan sebagai alergi. 

Faktanya, penyebab tersering diare pada anak adalah infeksi virus yang biasanya sembuh dalam 5–7 hari. 

Alergi makanan baru dipikirkan jika gejala berlangsung lebih dari 2 minggu, disertai penurunan berat badan, atau terjadi setelah pengenalan susu formula.

Overdiagnosis alergi makanan bisa merugikan tumbuh kembang bayi

“Karena pilihan makanan terbatas, ibu stres, bayi juga stres karena enggak bisa banyak makanan yang bisa dia konsumsi. Akibatnya produksi ASI dan asupan makanan berkurang. Jadi berat badan bayinya tidak naik,” tutur dr. Endah.

Oleh karena itu, orang tua perlu berhati-hati sebelum menganggap setiap gejala pada bayi adalah tanda alergi makanan

Diagnosis harus ditegakkan dengan evaluasi medis, bukan hanya asumsi, agar tumbuh kembang anak tetap optimal tanpa pembatasan yang tidak perlu.

 

(Tribunnews.com/ Aisyah Nursyamsi)

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved