Konsumsi Susu Formula di Indonesia Meningkat, Cakupan ASI Eksklusif Jauh dari Target WHO
Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang seringkali menyasar ibu-ibu muda dengan iklan susu formula yang menawarkan iming-iming aduhai
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pekan Menyusui Dunia 2025 yang diperingati setiap 1–7 Agustus kembali menjadi momentum refleksi atas pentingnya Air Susu Ibu (ASI) dalam menunjang tumbuh kembang bayi.
Baca juga: IDAI Ingatkan Pemerintah Soal Kebijakan Ibu Menyusui dan Cuti Enam Bulan
Meski manfaatnya sangat besar, Indonesia justru menghadapi kenyataan pahit yaitu menjadi pasar susu formula kedua terbesar di Asia dengan nilai penjualan mencapai lebih dari 1,4 miliar dolar AS per tahun.
Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Naomi Esthernita F Dewanto mengungkapkan bahwa ASI mengandung lebih dari seribu komponen bioaktif. Bioaktif merupakan zat yang tidak akan ditemukan di dalam susu formula manapun.
"Punya uang sebanyak apapun tidak akan bisa beli susu sebaik asli," tegas dr. Naomi dalam seminar media virtual, Minggu (3/7/2025).
Menurut data World Health Organization (WHO), menyusui secara eksklusif hingga enam bulan mampu menurunkan risiko kematian bayi sekitar 13 persen.
Tidak hanya untuk bayi, menyusui selama lebih dari 12 bulan juga mengurangi risiko kanker payudara hingga 26 persen bagi ibu.
Selain itu, antibodi dalam ASI secara spesifik membantu bayi melawan infeksi, menjaga hidrasi, dan mengatur pola tidur alami mereka.
Namun, data cakupan ASI eksklusif global masih belum menggembirakan. WHO mencatat hanya 44 persen bayi di dunia yang menerima ASI eksklusif hingga usia 6 bulan.
Sementara di Indonesia, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2022, cakupan ASI eksklusif berada di angka 52,5 persen.
Meski naik dibandingkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang hanya 37,3 persen, angka ini masih jauh dari target nasional sebesar 70 persen dan target global WHO 60 persen pada tahun 2025.
Baca juga: Pekan ASI Sedunia 2025, Ini 5 Pekerjaan Rumah Indonesia dari WHO
“Kalau kita lihat datanya, target WHO belum tercapai. Bahkan inisiasi menyusui dini di Indonesia baru mencapai 58 persen,” ungkap dr. Naomi.
Faktor penyebab rendahnya cakupan ASI eksklusif cukup kompleks. Selain minimnya edukasi, kuatnya pemasaran susu formula turut mempengaruhi keputusan ibu dalam memberi asupan kepada bayinya.
Menurut laporan UNICEF, Indonesia mengalami lonjakan konsumsi susu formula lebih dari 60 persen dalam satu dekade terakhir.
Studi lain bahkan menunjukkan banyak ibu mulai menggunakan susu formula saat bayi berusia 1–3 bulan, padahal periode tersebut seharusnya menjadi masa eksklusif menyusui.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang seringkali menyasar ibu-ibu muda dengan iklan susu formula bermuatan klaim menyesatkan.
Mulai dari pernyataan bahwa susu formula premium lebih baik hingga narasi bahwa "susu bayi penting", padahal tidak semua sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
"Branding premium berarti manfaat premium? Salah. Perbedaannya hanya harga. Tidak ada susu formula yang bisa menandingi ASI," tegas dr. Naomi.
Tak hanya urusan nutrisi, menyusui juga memiliki dampak langsung pada lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan studi WHO dan UNICEF, menyusui secara eksklusif selama enam bulan dapat mencegah hingga 820.000 kematian anak di bawah lima tahun setiap tahunnya secara global.
Baca juga: Kumpulan Ucapan Pekan ASI Sedunia 2025, Berikut Sejarah Singkatnya
Selain itu, menyusui menghemat sekitar 4.000 liter air per bayi dan mengurangi emisi karbon hingga 700 kilogram CO2 per tahun jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan produksi susu formula yang menghasilkan limbah plastik dan kemasan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.