Sabtu, 4 Oktober 2025

80 Persen Pasien Ortopedi Masih Rasakan Nyeri Usai Terapi untuk Atasi Kelainan Bentuk Tulang

80 persen pasien ortopedi masih mengeluhkan nyeri, baik sebelum maupun sesudah tindakan medis atasi kelainan bentuk tulang.

Penulis: Eko Sutriyanto
freepik
GANGGUAN TULANG SENDI - Masalah deformitas atau kelainan bentuk tulang dan sendi masih menjadi tantangan besar di dunia kesehatan, termasuk di Indonesia. Kelainan yang dapat terjadi pada tulang belakang, lengan, paha, maupun tungkai ini kerap berdampak serius terhadap kualitas hidup pasien, mulai dari nyeri kronis, keterbatasan mobilitas, hingga disabilitas jangka panjang. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masalah deformitas atau kelainan bentuk tulang dan sendi masih menjadi tantangan besar di dunia kesehatan, termasuk di Indonesia. 

Kelainan yang dapat terjadi pada tulang belakang, lengan, paha, maupun tungkai ini kerap berdampak serius terhadap kualitas hidup pasien, mulai dari nyeri kronis, keterbatasan mobilitas, hingga disabilitas jangka panjang.

Baca juga: Dokter Spesialis Ortopedi Jelaskan Lumbar Disc Replacement, Penanganan pada Masalah Tulang Belakang

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Indonesia (PABOI), Prof. Dr. dr. Ismail Hadisoebroto Dilogo, Sp.OT(K), mengungkapkan bahwa meski berbagai terapi dan tindakan ortopedi telah tersedia, keluhan masih dirasakan.

Sekitar 80 persen pasien ortopedi masih mengeluhkan nyeri, baik sebelum maupun sesudah tindakan medis.

“Penanganan nyeri ini tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kerja sama antar subspesialis, termasuk pain interventionist agar terapi yang diberikan benar-benar komprehensif dan hasilnya optimal,” jelas Ismail saat ajang Internasional Orthopaedic Concurrent Meeting (OCM) 2025 yang digelar di Jakarta, belum lama ini.

Dengan mengusung tema “Transforming Deformities: Collaborative Strategies for Better Outcomes,” OCM 2025 menjadi forum strategis bagi para ahli ortopedi dari dalam dan luar negeri untuk membahas pendekatan terbaru dalam penanganan deformitas tulang, trauma, dan nyeri muskuloskeletal.

Baca juga: Mengaku Korban Malapraktik hingga Lumpuh, IRT di Bekasi Ternyata Menderita TBC Tulang

Kegiatan ini mempertemukan para spesialis ortopedi umum, ahli bedah tulang belakang, konsultan trauma ortopedi, hingga dokter intervensi nyeri dari berbagai negara. Harapannya, terjadi kolaborasi lintas disiplin yang lebih erat demi hasil terapi yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Ismail menegaskan bahwa kolaborasi lintas spesialis menjadi kunci penting terutama dalam penanganan kasus-kasus kompleks, seperti pasien dengan kelainan bentuk tulang berat yang memerlukan operasi rekonstruktif atau pemasangan implan jangka panjang.

“Setiap pasien memiliki kondisi yang unik. Ada yang butuh penanganan saraf, stabilisasi tulang belakang, manajemen nyeri, hingga rehabilitasi. Inilah pentingnya keterlibatan tim multidisiplin,” ujarnya.

Di sisi lain, Dr. dr. I Gusti Lanang Ngurah Agung Artha Wiguna, Sp.OT(K), Ketua Indonesian Orthopaedic Spine Society (IOSSA), menyoroti persoalan keterbatasan jumlah dokter subspesialis tulang belakang di Tanah Air.

“Saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 138 konsultan ortopedi tulang belakang. Padahal, kebutuhan ideal menurut Kementerian Kesehatan mencapai sedikitnya 500 orang,” jelas Lanang.

Ia menambahkan, keterbatasan tersebut disebabkan minimnya institusi pendidikan yang menyediakan program subspesialis tulang belakang.

Saat ini hanya lima institusi pendidikan yang menyelenggarakan program tersebut, dengan hanya dua institusi yang secara konsisten mampu meluluskan konsultan setiap tahun.

Karena itu, selain menjadi ajang ilmiah dan kolaboratif, OCM 2025 juga dirancang sebagai sarana pengembangan kapasitas (upskilling) bagi dokter muda dan residen ortopedi.

Kegiatan ini mencakup sesi kuliah, workshop bedah, diskusi kasus, serta demonstrasi teknik-teknik terkini dalam menangani deformitas dan nyeri muskuloskeletal.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved