Pakar Kesehatan: Teknologi Kecerdasan Buatan Tidak Bisa Gantikan Dokter
Ia mengingatkan bahwa penggunaan teknologi ini tidak lepas dari risiko dan tantangan etis. Dokter yang memusuhi kecerdasan buatan bisa tertinggal jauh
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dapat menjadi pendamping penting bagi dokter dalam melakukan tindakan medis termasuk operasi bedah.
Baca juga: Peluang Pemanfaatan Kecerdasan Buatan di Sektor Industri Dinilai Masih Menjanjikan
Selain itu, Budi menyatakan, dokter yang memusuhi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) akan terbelakang atau tertinggal dari kemajuan teknologi.
Pernyataan ini menuai banyak pendapat dari berbagai kalangan. Salah satunya Ahli Kesehatan Global dan Sistem Rumah Sakit, sekaligus Epidemiolog Griffith University Australia. Menurutnya, AI sepatutnya diposisikan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti dokter.
Dunia kedokteran kata Dicky adalah ranah etik, empati, dan kehati-hatian, yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh mesin.
“Pelayanan kedokteran itu artinya, bagian dari seni gitu. Bahkan dalam riset-riset mahasiswa kedokteran dalam bidang kesehatan ada yang disebut dengan state of the art sebelum mereka melakukan riset. Artinya seni, dan seni itu perlu emosi, perlu empati yang ini tidak dimiliki oleh AI begitu ya,” ujarnya kepada Tribunnews, Kamis (17/7/2025).
Dalam praktiknya, teknologi AI memang telah terbukti mampu membantu berbagai aspek pelayanan medis. Misalnya, pada diagnosis berbasis citra medis di radiologi dan patologi digital, teknologi ini mampu memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi, bahkan bisa melampaui rata-rata kemampuan manusia.
AI juga dapat dimanfaatkan dalam prediksi penyakit kronis serta efisiensi administratif di layanan rumah sakit, termasuk triase otomatis di IGD dan manajemen antrean. Namun Dicky juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan AI.
Baca juga: Sertifikasi Artificial Intelligence Diperlukan Guna Tingkatkan Kemampuan Mahasiswa di Level Global
Ia mengingatkan bahwa penggunaan teknologi ini tidak lepas dari risiko dan tantangan etis. Salah satunya adalah bias algoritma, yang dapat berakibat pada ketidakadilan diagnosis terhadap kelompok tertentu seperti perempuan atau minoritas etnis.
“Jadi semua itu akhirnya terkait atau khususnya merespon AI, kita harus adaptasi dalam bentuk atau dilakukan secara etis, bertahap, berbasis bukti, serta dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi,” katanya.
Dicky juga menyinggung perlunya edukasi digital bagi para tenaga medis agar AI benar-benar menjadi mitra, bukan ancaman. Menurutnya, adaptasi terhadap AI harus dimulai dari pendidikan kedokteran hingga pada reformasi sistem kesehatan secara keseluruhan.
Baca juga: Kritik Kebijakan Kemenkes, ILUNI FKUI: Pendidikan Kedokteran Bukan Cuma Pelatihan Teknis
“Jadi kita perlu dokter yang humanis, tapi juga cakap digital. Dan bukan salah satu saja, bukan hanya dokter humanisnya saja, atau bukan dokter yang cakep digitalnya saja, tapi dua-duanya,” ujarnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.