Kerusuhan di Nepal
Aksi Protes Gen Z di Nepal Jadi Alarm Keras untuk Demokrasi, Jangan Abaikan Suara Publik
Gelombang aksi protes publik di Nepal disebut memberikan pelajaran berharga, terutama dalam menyadarkan pemerintah di seluruh Asia Selatan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang aksi protes publik di Nepal disebut memberikan pelajaran berharga, terutama dalam menyadarkan pemerintah di seluruh Asia Selatan.
Ketika kepemimpinan politik menutup telinga terhadap suara warganya, fondasi kepercayaan publik mulai terkikis.
Dikutip dari Pakistan Observer, Kamis (2/10/2025), Assadullah Channa seorang pendidik yang tinggal di Sindh menjelaskan, gelombang protes ini bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan, melainkan aksi kolektif terhadap sistem yang dianggap acuh tak acuh, tidak transparan, dan tidak responsif.
"Konsekuensinya cepat dan nyata: jurang pemisah yang semakin lebar antara negara dan rakyatnya. Termasuk, krisis legitimasi yang mengguncang pilar-pilar pemerintahan," kata Channa.
Menurutnya, di Nepal, rasa frustrasi yang meluas atas stagnasi politik, korupsi yang mengakar, dan janji-janji yang berulang kali tidak terpenuhi. Hal itu telah memicu gelombang respons sipil yang kuat.
Aksi Protes Gen Z
Generasi Z di Nepal telah merespons sistem politik negara yang stagnan dan egois. Yakni, dengan campuran rasa frustrasi, kreativitas, dan aktivisme yang berani.
Generasi Z di sana, dibesarkan di era digital dan terpapar gerakan global untuk keadilan dan akuntabilitas, generasi ini jauh lebih enggan menoleransi status quo.
"Mereka tumbuh besar menyaksikan para pemimpin politik mendaur ulang janji-janji tanpa memberikan reformasi yang berarti, dan kesabaran mereka telah menipis," katanya.
Alih-alih mundur dalam sikap apatis, Generasi Z Nepal telah turun ke jalan dan media sosial dengan tekad yang kuat. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter telah menjadi alat untuk keterlibatan sipil, di mana meme, video, dan tagar memperkuat perbedaan pendapat mereka dan memobilisasi rekan-rekan.
Dengan mendefinisikan ulang arti keterlibatan politik, aktivisme mereka bersifat visioner. Generasi Z di Nepal mendorong perubahan sistemik, menuntut transparansi, representasi pemuda, dan pembangunan inklusif.
Mereka menantang hierarki tradisional dan mempertanyakan mengapa masa depan mereka harus ditentukan oleh para pemimpin yang tampaknya lebih berinvestasi dalam permainan kekuasaan daripada pelayanan publik. Pelajaran dari Nepal jelas: pemerintahan yang mengecualikan publik melahirkan ketidakpercayaan.
Ketika warga negara menganggap aspirasi mereka sekunder dari manuver politik atau kepentingan elit, mereka melepaskan diri. Lebih buruk lagi, mereka melawan. Kepercayaan, setelah rusak, sulit dipulihkan. Hal ini membutuhkan lebih dari sekadar penyesuaian kebijakan, tetapi menuntut perubahan mendasar dalam cara kekuasaan dijalankan dan dibagikan.
Hal ini dikaitkan dengan posisi Pakistan, yang berada di momen kegelisahan publik. Gelisah yang terpendam itu dinilai tumbuh di antara sebagian besar penduduk.
Banyak warga negara telah menyatakan kekhawatiran tentang aspirasi yang belum terpenuhi dan laju perkembangan demokrasi secara keseluruhan. Kepercayaan terhadap proses pemilu dan lembaga-lembaga kunci telah menjadi subjek wacana publik yang semakin meningkat.
Peran informasi—baik yang akurat maupun yang tidak—telah semakin membentuk bagaimana masyarakat berinteraksi dengan sistem demokrasi. Dalam situasi ini, beberapa orang mulai mempertanyakan efektivitas partisipasi.
Kerusuhan di Nepal
Sempat Terjebak Saat Kerusuhan di Nepal, 3 Dosen Poltekkes Ini Tiba dengan Selamat di Indonesia |
---|
Nepal Berangsur Pulih, Kemlu RI: 74 WNI Sudah Pulang ke Tanah Air, 4 Menyusul Pekan Ini |
---|
Beri Pidato Pertama sebagai PM Nepal yang Baru, Sushila Karki: Saatnya Kita Bersatu |
---|
Sushila Karki Pecahkan Rekor: PM Perempuan Pertama Nepal, Usia 73 Tahun, Dipilih Lewat Discord |
---|
Delegasi RI Menginap di Hotel yang Dibakar Demonstran Nepal |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.