Sabtu, 4 Oktober 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Ultimatum Tiga Hari Trump untuk Hamas atas Rencana Damai Gaza: Kami Butuh 1 Tanda Tangan

Presiden AS Donald Trump memberikan ultimatum selama tiga hari kepada Hamas untuk menandatangani rencana damai Gaza.

|
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Sri Juliati
RNTV/TangkapLayar
ULTIMATUM TRUMP - Personel Brigade Al Qassam, Sayap Militer Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas, dalam sebuah parade militer di Jalur Gaza beberapa waktu lalu. Presiden AS, Donald Trump memberikan ultimatum tiga hingga empat hari kepada Hamas untuk menandatangani rencana damai Gaza yang sudah disepakati dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. 

TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan ultimatum kepada kelompok militan Palestina, Hamas, untuk menanggapi proposal perdamaian dan rekonstruksi Jalur Gaza dalam waktu "tiga hingga empat hari".

Ultimatum ini disampaikan di tengah berlanjutnya serangan Israel yang terus menimbulkan korban sipil di wilayah padat penduduk tersebut.

Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington, Trump memperingatkan bahwa Hamas akan "membayar di neraka" jika menolak kesepakatan yang bertujuan mengakhiri perang selama dua tahun yang berkecamuk.

Presiden AS tersebut menegaskan bahwa Israel akan mendapatkan "dukungan penuh"-nya jika Hamas menolak atau melanggar kesepakatan tersebut.

"Kami hanya membutuhkan satu tanda tangan, dan tanda tangan itu akan membayar di neraka jika mereka tidak menandatanganinya," kata Trump, dikutip dari The Guardian.

Rencana perdamaian 20 poin yang diajukan Trump ini disambut baik oleh media maupun politisi Israel karena memenuhi banyak tuntutan utama mereka.

Poin-poin kunci dalam proposal tersebut meliputi:

  1. Pelucutan Senjata Hamas dan pelarangannya dari peran politik di Gaza di masa depan.
  2. Pembebasan 48 sandera Israel yang masih ditahan dalam waktu 72 jam setelah gencatan senjata diberlakukan.
  3. Penarikan bertahap pasukan militer Israel ke zona penyangga di sepanjang perbatasan.
  4. Peningkatan besar-besaran bantuan kemanusiaan untuk 2,3 juta penduduk Gaza yang hancur.

Pemerintahan transisi teknokratis pascaperang di Gaza yang akan dipimpin langsung oleh Donald Trump.

Meskipun mendukung rencana tersebut, Netanyahu menegaskan bahwa militer Israel akan tetap berada di sebagian besar wilayah Gaza, dan ia tidak menyetujui pembentukan negara Palestina selama pembicaraannya dengan Presiden AS.

"Kami akan memulihkan semua sandera kami, hidup dan sehat, sementara (militer Israel) akan tetap berada di sebagian besar Jalur Gaza," ujar Netanyahu dalam pernyataan video.

Baca juga: PM Qatar: Rencana Trump untuk Gaza Butuh Klarifikasi dan Negosiasi Lebih Lanjut

Di sisi lain, Hamas belum memberikan tanggapan resminya terkait 20 poin kesepakatan damai di Gaza.

Para pejabatnya menyatakan sedang meninjau proposal tersebut melalui serangkaian konsultasi internal dan dengan faksi-faksi bersenjata Palestina yang bersekutu.

Sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa rencana itu "sepenuhnya bias terhadap Israel" dan memaksakan "kondisi yang mustahil" yang bertujuan melenyapkan kelompok tersebut.

Jihad Islam, sekutu Hamas, menilai rencana tersebut akan mendorong agresi lebih lanjut terhadap Palestina.

"Melalui ini, Israel berusaha—melalui Amerika Serikat—untuk memaksakan apa yang tidak dapat dicapainya melalui perang," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

Namun, Otoritas Palestina (PA), yang memiliki otoritas parsial di Tepi Barat yang diduduki Israel, menyambut upaya "tulus dan bertekad" dari Trump.

Sementara itu, komunitas global dengan cepat menyatakan dukungan terhadap inisiatif AS.

Para pemimpin asing, yang sangat menyadari kegagalan upaya gencatan senjata sebelumnya, bergegas memberikan dukungan.

Kanselir Jerman, Friedrich Merz, menyebut rencana Trump sebagai "peluang terbaik untuk mengakhiri perang".

Sementara Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyambut baik "komitmen presiden AS untuk mengakhiri perang di Gaza".

Moskow juga mendukung proposal tersebut.

Turki, Mesir, dan Qatar — negara-negara yang memiliki pengaruh atas Hamas — turut mendukung dan dilaporkan akan bertemu dengan Hamas pada Selasa (30/9/2025) untuk membahas rencana tersebut.

Sejumlah negara, termasuk Pakistan, Yordania, Uni Emirat Arab, Indonesia, Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Mesir, mengeluarkan pernyataan bersama yang mendukung rencana Trump, menyatakan kesiapan mereka untuk bekerja secara konstruktif dengan AS demi mengamankan perdamaian.

Rencana Trump Dianggap Rapuh

Baca juga: Trump Pasang Batas Waktu, Hamas Hanya Punya 4 Hari Jawab Proposal Gaza

Rencana perdamaian 20 poin yang diajukan oleh Trump untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza telah disetujui secara formal oleh Netanyahu.

Namun, para pengamat memperingatkan bahwa kelangsungan rencana tersebut sangat rentan dan bergantung pada dua faksi utama yang tidak dikonsultasikan dalam perumusannya: kelompok militan Hamas dan anggota sayap kanan dalam pemerintahan Netanyahu sendiri.

Dikutip dari Arab News, ancaman terbesar bagi rencana ini justru datang dari dalam Israel.

Anggota kabinet Netanyahu dari kelompok sayap kanan, seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, diprediksi dapat memaksa keruntuhan pemerintahan dengan memicu pemilihan umum dini.

Mereka memandang upaya damai apa pun dengan Hamas sebagai bentuk pengkhianatan dan kapitulasi.

Keraguan juga muncul setelah Netanyahu, sekembalinya ke Israel, segera menjernihkan posisinya di hadapan publik domestik.

Ia dengan tegas membantah telah menyetujui pembentukan negara Palestina dan mengklaim hal itu tidak tertulis dalam perjanjian tersebut.

"Kami dengan tegas menentang negara Palestina. Presiden Trump juga mengatakan hal ini; dia mengatakan dia memahami posisi kami," ujar Netanyahu.

Pernyataan ini kontras dengan Pasal 19 dalam rencana Trump itu sendiri, yang mengidentifikasi pembentukan negara sebagai tujuan akhir.

Pasal tersebut menyatakan: "Ketika program reformasi (Otoritas Palestina) dilaksanakan dengan setia, kondisi-kondisi pada akhirnya dapat terwujud untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan pembentukan negara Palestina, yang kami akui sebagai aspirasi rakyat Palestina".

Kontradiksi ini berpotensi merusak kepercayaan pihak-pihak yang mendorong kedaulatan Palestina.

Para analis keamanan dan kebijakan luar negeri menyuarakan skeptisisme mereka terhadap keberhasilan jangka panjang rencana perdamaian ini.

Brian Katulis, senior fellow di Middle East Institute, menyebut rencana tersebut sebagai "dalih" (fig leaf) bagi pemerintah Israel saat ini untuk menghindari konsensus di Timur Tengah yang mendukung solusi dua negara.

Sementara itu, Kelly Petillo, seorang manajer program di European Council on Foreign Relations, mencatat bahwa rencana ini saat ini didukung karena fokus utamanya adalah mengakhiri perang.

Baca juga: Analis Soroti Rencana Trump untuk Gaza: Untungkan Israel, Sisakan Pertanyaan untuk Palestina

Namun, ia memperingatkan bahwa masalah-masalah struktural kemungkinan akan segera muncul setelah gencatan senjata tercapai.

Sanam Vakil, direktur Middle East and North Africa Program di Chatham House, menyimpulkan bahwa implementasi rencana tersebut rapuh.

Ia menyoroti tantangan-tantangan utama:

  1. Tidak adanya batas waktu yang jelas untuk implementasi.
  2. Kurangnya mekanisme penegakan yang mengikat Israel.
  3. Mengabaikan aktor-aktor Palestina kunci, terutama Hamas.

Hasan Al-Hhasan, senior fellow di International Institute for Strategic Studies, bahkan menyebut rencana 20 poin Trump sebagai "cawan beracun" (poisoned chalice).

Menurutnya, rencana ini memberikan Israel cek kosong untuk melanjutkan operasi militer tanpa batas di Gaza dengan persetujuan AS dan Arab, sambil mengabaikan kepentingan inti negara-negara kawasan, terutama tuntutan untuk penarikan penuh militer Israel.

Intinya, keberhasilan rencana ini sangat bergantung pada kemauan politik dari pihak-pihak yang paling skeptis, sesuatu yang menurut para ahli, belum terjamin hingga saat ini.

(Tribunnews.com/Whiesa)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved