Senin, 29 September 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Hamas Siap Akhiri Kekuasaan di Jalur Gaza: Kami Tidak Keberatan

Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) tidak keberatan untuk meninggalkan kekuasaannya di Jalur Gaza, dengan syarat pendirian Negara Palestina.

Telegram Brigade Al-Quds
BRIGADE AL-QUDS - Foto ini diambil pada Kamis (13/2/2025) dari publikasi resmi Telegram Brigade Al-Quds (sayap militer Jihad Islam), memperlihatkan anggota Brigade Al-Quds diapit oleh anggota Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) saat berpatroli selama pertukaran tahanan gelombang ke-3 Kamis (30/1/2025). Pada 26 September 2025, Hamas mengatakan siap mengakhiri kekuasaan di Jalur Gaza. 

TRIBUNNEWS.COM - Ghazi Hamad, salah satu pemimpin Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Qatar, mengonfirmasi gerakan tersebut siap melepaskan kendali atas Jalur Gaza.

Ia menegaskan Jalur Gaza adalah bagian dari wilayah Palestina dan tidak dapat dikecualikan.

"Seperti yang telah saya katakan berulang kali, kami siap meninggalkan kekuasaan Gaza, dan kami tidak keberatan dengan itu," kata Hamad dalam wawancara dengan CNN, Jumat (26/9/2025).

Hamad juga berbicara tentang upaya pembunuhan terhadap dirinya dan delegasi Hamas di Doha dalam serangan Israel pada 9 September. 

Ia menggambarkan keselamatannya sebagai keajaiban, menuduh Israel berusaha menargetkan para negosiator dan menghancurkan proses negosiasi.

Terkait berkas tahanan, Hamad menegaskan komitmen Hamas terhadap kesepakatan komprehensif yang mencakup pembebasan semua tahanan Palestina

Israel memperkirakan Hamas menahan 48 tahanan Israel, 20 di antaranya masih hidup, sedangkan lebih dari 11.000 tahanan Palestina mendekam di penjara-penjara Israel.

Pernyataan pemimpin Hamas tersebut bertepatan dengan pengumuman rencana 21 poin oleh Presiden AS, Donald Trump, untuk mengakhiri perang genosida di Jalur Gaza.

Rencana tersebut mencakup pembentukan pemerintahan untuk Gaza yang mengecualikan Hamas dan pembentukan pasukan keamanan gabungan dengan dukungan Arab dan Islam untuk mengelola dan membangun kembali Jalur Gaza, dengan partisipasi terbatas dari Otoritas Palestina.

Hamas Tanggapi Pidato Netanyahu di PBB

Hamas menanggapi pidato Netanyahu di Majelis Umum ke-80 PBB pada hari Jumat.

Baca juga: Di Aula PBB yang Sepi, Netanyahu Berpidato Menentang Pengakuan Palestina

Mereka memuji aksi walk out yang dilakukan oleh puluhan perwakilan dari berbagai negara ketika Netanyahu naik ke podium.

Menurut Hamas, walk out tersebut mencerminkan Israel yang terisolasi di kancah internasional.

Gerakan tersebut mengatakan bahwa membiarkan penjahat perang yang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), berpidato tentang hak asasi manusia dan keadilan di PBB adalah paradoks nyata karena ia sendiri melanggarnya di Jalur Gaza.

"Kebohongan berulang-ulang Netanyahu dan penyangkalan terang-terangan terhadap kejahatan genosida, pengungsian paksa, dan kelaparan sistematis tidak akan mengubah fakta-fakta yang telah ada yang didokumentasikan oleh laporan PBB dan internasional," kata Hamas dalam pernyataannya.

Hamas mengatakan Netanyahu berulang kali mempromosikan propaganda "anti-Semit" terhadap orang-orang yang menentang kejahatan Israel di Jalur Gaza.

"Upayanya untuk meratapi para tawanannya, dan pamernya dengan berbicara kepada mereka melalui pengeras suara, mencerminkan 'mentalitas kolonial yang sakit'," katanya.

Menjawab tuduhan Netanyahu yang menyebut Hamas menghalangi perundingan, Hamas mengatakan Netanyahu adalah orang yang justru melakukannya.

"Netanyahu sendiri bertanggung jawab atas penghalangan perjanjian apa pun yang menjamin pembebasan mereka karena sikap keras kepala dan desakannya untuk melanjutkan agresi, pembatalan perjanjian Januari lalu, dan upayanya yang gagal untuk membunuh delegasi negosiasi di Qatar," jelasnya.

Hamas menegaskan Netanyahu tidak peduli dengan para tahanan Israel karena ia melanjutkan pengeboman brutal dan penghancuran Kota Gaza.

Gerakan tersebut juga membantah tuduhan Netanyahu yang mengatakan mereka berupaya membunuh orang-orang Yahudi di seluruh dunia.

"Pertempuran perlawanan Palestina terbatas pada perlawanan terhadap pendudukan Israel di tanah Palestina dan tempat-tempat sucinya hingga rakyat Palestina memperoleh hak mereka untuk menentukan nasib sendiri," katanya, lapor Al-Quds.

Hamas menekankan hak rakyat Palestina untuk mendirikan Negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.

Otoritas Palestina Siap Pimpin Negara Palestina

Sebelumnya, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, berpidato secara virtual di Majelis Umum ke-80 PBB pada hari Kamis (25/9/2025).

Dalam pidatonya, ia menegaskan Otoritas Palestina siap mengambil alih pemerintahan serta keamanan di sana dengan prinsip satu negara, satu hukum, dan satu pasukan sah, tanpa menjadi negara bersenjata.

Selain itu, ia mengutuk serangan Hamas terhadap warga sipil Israel pada 7 Oktober 2023, menegaskan tindakan itu tidak mewakili perjuangan sah rakyat Palestina, dikutip dari UN News.

Mahmoud Abbas menyesalkan ribuan resolusi PBB soal Palestina yang tak kunjung dijalankan, meski Palestina telah menepati komitmen sejak Perjanjian Oslo I pada tahun 1993.

Presiden Palestina juga berterima kasih atas dukungan negara-negara yang telah mengakui Palestina, mendesak pengakuan lebih luas, dan menegaskan bahwa perdamaian hanya tercapai melalui keadilan. 

Ia menutup pidatonya dengan janji bahwa rakyat Palestina tidak akan menyerah hingga bendera mereka berkibar sebagai simbol kebebasan dan martabat.

Israel Menargetkan Pemimpin Hamas di Luar Negeri

Pada akhir Agustus, militer Israel mengancam akan menargetkan para pemimpin Hamas di luar negeri, lapor The Times of Israel.

"Sebagian besar pimpinan Hamas yang masih berkuasa berada di luar negeri, dan kami akan menargetkan mereka juga," kata Kepala staf militer Israel, Eyal Zamir, memperingatkan pada 31 Agustus 2025.

Ancaman tersebut muncul setelah Israel mengklaim telah membunuh Abu Obeida, juru bicara militer Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas dengan serangan udara pada 30 Agustus 2025.

Pada 9 September 2025, militer Israel meluncurkan serangan ke Doha, Qatar, dengan dalih menargetkan markas para pemimpin Hamas, termasuk Khalil al-Hayya.

Para pemimpin Hamas selamat dari serangan tersebut, namun enam orang meninggal dunia, di antaranya Humam al-Hayya (anak dari Khalil al-Hayya), Jihad Abu Labal (direktur kantor al-Hayya), tiga orang pengawal al-Hayya, dan Kopral Lance Badr Saad Mohammed al-Humaidi al-Dosari (petugas keamanan Qatari).

Serangan tersebut terjadi tak lama setelah perwakilan Qatar bertemua dengan para pemimpin Hamas untuk membahas proposal yang diajukan AS dan dinilai sebagai upaya Israel untuk menggagalkan upaya negosiasi.

Qatar mengutuk serangan tersebut dan mengatakan bahwa Israel datang ke negaranya bukan hanya untuk negosiasi tetapi juga merencanakan serangan.

Serangan Israel di Jalur Gaza

Serangan Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 65.549 warga Palestina dan melukai sekitar 167.518 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, Jumat. 

Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk, dengan 440 orang meninggal akibat kelaparan, termasuk 147 anak-anak.

Sejak Mei 2025, serangan terhadap warga yang mengantre bantuan menewaskan 2.543 orang dan melukai lebih dari 18.614 lainnya, lapor Anadolu Agency.

Israel menyalahkan Hamas atas kehancuran di Gaza sebagai dampak dari serangan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, saat Hamas menewaskan ratusan warga Israel dan menyandera 250 orang. 

Saat ini, sekitar 20-50 sandera yang masih ditahan di Gaza.

Sementara itu, perundingan negosiasi antara Hamas dan Israel yang ditengahi oleh Qatar dan Mesir masih berjalan lambat.

Hamas menuntut gencatan senjata permanen, penarikan pasukan, dan distribusi bantuan tanpa hambatan, sedangkan Israel bersikeras syarat utama adalah pembebasan semua sandera serta pembubaran Hamas.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan