Mengenal Topan Super Ragasa: Badai Mematikan Hantam Taiwan, Mengapa Indonesia Tak Masuk Jalurnya?
Apa itu Topan Super Ragasa yang dijuluki badai terkuat di dunia tahun 2025 yang menyebabkan banjir bandang, longsor, dan menewaskan puluhan orang.
TRIBUNNEWS.COM – Taiwan tengah diguncang Topan Super Ragasa, badai terkuat di dunia tahun 2025 yang menyebabkan banjir bandang, longsor, dan menewaskan puluhan orang.
Menurut laporan Badan Meteorologi Pusat Taiwan (CWA), topan ini tercatat memiliki hembusan angin berkelanjutan hingga 265 km/jam, hingga dikategorikan sebagai badai super yang berpotensi menimbulkan kerusakan luas, banjir, dan gelombang tinggi.
Topan Ragasa sendiri merupakan salah satu badai tropis terkuat yang terbentuk di atas perairan hangat Mikronesia di Pasifik Barat.
Mengutip dari APNews, badai ini tercipta karena panas laut yang tinggi menyebabkan uap air naik, membentuk awan konvektif dan tekanan rendah di permukaan.
Rotasi bumi kemudian membuat sistem angin berputar, membentuk pusaran badai yang terus menguat saat bergerak di laut lepas.
Dengan energi dari laut hangat, Ragasa berkembang menjadi topan super dengan kecepatan angin 265 km/jam (165 mph).
Biasanya topan ini umum dijumpai di daerah Taiwan, Hong Kong, China, dan Filipina karena wilayah itu terletak di Samudra Pasifik, jalur umum pembentukan badai tropis.
Selain itu negara-negara tersebut tersebut berada di lintang yang cukup jauh dari ekuator atau garis khatulistiwa, sehingga efek Coriolis cukup untuk memicu rotasi sistem badai tropis.
Efek Coriolis adalah fenomena fisika yang muncul karena rotasi Bumi, yang membuat arah gerakan benda atau aliran misalnya, angin dan arus laut, tampak membelok dari jalurnya yang lurus.
Para pakar meteorologi menekankan bahwa Ragasa merupakan bukti nyata dampak pemanasan global terhadap intensitas badai tropis.
Suhu laut yang tinggi di Pasifik Barat membuat badai ini mampu menguat dengan cepat, menciptakan kombinasi angin kencang, hujan deras, dan gelombang laut yang mematikan.
Taiwan, Tiongkok Selatan, Vietnam Jadi Korban
Topan Super Ragasa diperkirakan mulai menghantam Taiwan pada 22 September 2025 dan kemudian bergerak ke barat menuju Tiongkok selatan, termasuk provinsi Guangdong, serta wilayah pesisir Vietnam.
Baca juga: Topan Ragasa Mengamuk di Taiwan dan Sekitarnya, Kemlu Minta WNI Tingkatkan Kewaspadaan
Dampak langsung akibat munculnya topan ini, yakni hujan deras, angin kencang, dan gelombang tinggi, yang diperkirakan berlangsung hingga beberapa hari kedepan tepatnya hingga akhir September.
Meski intensitasnya menurun, wilayah terdampak masih mengalami hujan ekstrem, banjir lokal, dan gangguan transportasi selama 3–5 hari setelah puncak badai.
Badan Meteorologi Pusat Taiwan (CWA) memperingatkan bahwa hujan deras tetap berlanjut di seluruh Taiwan bagian timur hingga malam hari setelah badai mendarat.
Di Hong Kong, pejabat setempat memperingatkan adanya "ancaman serius" pemerintah bahkan meminta warga membatasi aktivitas di luar rumah. Sejumlah layanan transportasi publik, termasuk penerbangan, sempat dibatalkan.
Sementara di China, otoritas menutup sekolah dan kampus di lebih dari 10 kota. Evakuasi dilakukan di daerah pesisir untuk mengantisipasi badai dan gelombang tinggi.
Topan Ragasa juga menyebabkan banjir di wilayah utara Manila, Filipina. Presiden Bongbong Marcos memerintahkan warganya untuk siaga penuh dan mengaktifkan seluruh badan penanggulangan bencana.
Sedikitnya 3 orang tewas dan lebih dari 10.000 warga dievakuasi setelah Topan Ragasa menghantam Filipina utara sejak awal pekan ini.
Mengapa Ragasa Tak Melewati Indonesia?
Penjelasan ilmiah paling mendasar terkait hal ini adalah efek Coriolis, yang pada garis khatulistiwa hampir tidak memiliki kekuatan yang diperlukan untuk memutar badai tropis menjadi sistem siklon rotasi terorganisir.
Ilmuwan dan pengamat meteorologi menyebut bahwa badai tropis termasuk topan dan siklon nyaris tidak pernah terbentuk atau melintasi garis khatulistiwa karena pada garis itu, gaya Coriolis “nol” atau sangat lemah.
Tanpa itu, sistem gadai tidak dapat mempertahankan struktur sikloniknya. Selain itu, menurut artikel di LiveScience, sangat sulit bagi sistem siklon tropis untuk menyusut atau melewati zona ekuator karena jika mereka mendekat, putaran internal akan berkonflik dan melemah. Live Science
Dalam prakteknya, Indonesia berada sangat dekat dengan garis khatulistiwa, sehingga badai tropis besar seperti Ragasa biasanya meredup atau melemah jauh sebelum bisa mendekati wilayah Indonesia.
Namun, Indonesia tetap dapat merasakan dampak tak langsung, misalnya gelombang tinggi di perairan utara, perubahan pola curah hujan, atau peningkatan aktivitas cuaca ekstrem kecil.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.