Minggu, 5 Oktober 2025

Pulang Naik Kereta Lapis Baja, Kim Jong Un Panen Bantuan Ekonomi dari China, Dapat Backingan Rusia

Kim Jong-un mendapatkan komitmen sejumlah bantuan ekonomi dari Presiden China Xi Jinping yang selama ini jadi sekutu utama Korea Utara.

Editor: Choirul Arifin
KCNA/Yonhap/Korea Times
DAPAT DUKUNGAN EKONOMI BEIJING - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, kiri, berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam pertemuan bilateral di Beijing, Kamis, 4 September 2025, 

TRIBUNNEWS.COM - Kunjungan tiga hari ke China benar-benar mendatangkan keuntungan politik yang luar biasa bagi pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.

Kim mendapatkan komitmen sejumlah bantuan ekonomi dari Presiden China Xi Jinping yang selama ini jadi sekutu utama Korea Utara.

Kim juga mendapatkan jaminan keamanan dari Moskow, lewat pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Beijing. Saat pulang kembali ke Pyongyang menaikin kereta api pribadi lewat jalur darat dari Beijing, Kim pun tersenyum sumringah.

Dukungan dari China dan Rusia ke Korea Utara tersebut sekaligus menegaskan keseriusan China dan Rusia memperluas pengaruh mereka dalam urusan Semenanjung Korea.

Para pengamat mengatakan Korea Selatan menghadapi lanskap diplomatik yang semakin rumit, perlu menyeimbangkan aliansinya dengan Washington sambil mengelola hubungan dengan Beijing dan Moskow dalam menghadapi ancaman nuklir Pyongyang.

Kim mengakhiri kunjungan langkanya ke Beijing pada Kamis malam, kembali ke Pyongyang dengan kereta api lapis bajanya usai menghadiri parade militer yang menandai peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

Pada hari terakhir kunjungannya, Kim Jong-un mengadakan pertemuan puncak bilateral dengan Presiden China Xi Jinping, pertemuan pertama mereka dalam hampir tujuh tahun.

PULANG NAIK KERETA - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pulang menuju Pyongyang setelah melakukan kunjungan 3 hari ke Beijing dengan menaiki kereta api pribadi, Kamis, 5 September 2025.
PULANG NAIK KERETA - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pulang menuju Pyongyang setelah melakukan kunjungan 3 hari ke Beijing dengan menaiki kereta api pribadi, Kamis, 5 September 2025. (KCNA/Yonhap)

Kedua pemimpin menegaskan kembali bahwa persahabatan antara negara mereka akan tetap tidak berubah "terlepas dari bagaimana lanskap internasional berkembang," seperti dikutip Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) milik pemerintah Korea Utara pada hari Jumat.

Xi Jinping menggambarkan kedua negara sebagai "tetangga, sahabat, dan kawan yang baik" yang memiliki nasib yang sama dan saling mendukung.

Media Tiongkok melaporkan bahwa Kim mengatakan Korea Utara siap untuk memperluas kerja sama ekonomi dan perdagangan yang saling menguntungkan dengan Tiongkok untuk mencapai hasil yang lebih besar.

Para analis menafsirkan pernyataan tersebut sebagai sinyal Beijing untuk memperluas dukungan ekonomi bagi Pyongyang, yang sedang bergulat dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan.

China yang selama ini menjadi mitra dagang terbesar Korea Utara, dipandang sebagai jalur penyelamat yang krusial bagi negara yang dikenai sanksi berat tersebut.

"Tiongkok dulunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap urusan Semenanjung Korea, tetapi telah agak terpinggirkan selama beberapa tahun terakhir di tengah meningkatnya hubungan militer antara Korea Utara dan Rusia," kata Yang Moo-jin, mantan presiden Universitas Studi Korea Utara.

Baca juga: Tiga Hari ke Beijing, Kim Jong-un Pakai Arloji Buatan Swiss, Sang Adik Tenteng Tas Lady Dior

"Dengan perayaan Hari Kemenangan ini dan pertemuan Kim-Xi, pengaruhnya terhadap Korea Utara telah dipulihkan," lanjut Yang Moo-jin.

Yang paling menonjol, pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak tidak menyebutkan adanya referensi terhadap denuklirisasi Semenanjung Korea.

Hal ini sangat kontras dengan empat pertemuan puncak Kim-Xi pada tahun 2018 dan 2019, saat Korea Utara menjanjikan langkah-langkah menuju denuklirisasi dan Beijing menyatakan dukungannya.

Baca juga: Bencana atau Prestise? Prabowo Duduk Sejajar dengan Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un

"Akan sulit mengharapkan upaya nyata dari Tiongkok untuk denuklirisasi Korea Utara, karena Beijing semakin menjauhi apa yang dianggapnya sebagai tujuan yang tidak realistis," kata Cho Han-bum, peneliti senior di Institut Unifikasi Nasional Korea.

Namun, pemerintah Korea Selatan menekankan bahwa Tiongkok akan mempertahankan posisinya terkait denuklirisasi Semenanjung Korea.

Seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengatakan pada hari Jumat bahwa Tiongkok "telah mengonfirmasi dalam beberapa kesempatan, termasuk selama kunjungan utusan presiden baru-baru ini ke Tiongkok, bahwa posisi dasarnya terkait isu-isu Semenanjung Korea tetap tidak berubah."

"Denuklirisasi adalah tujuan bersama komunitas internasional," tambah pejabat tersebut. Namun kantor kepresidenan menolak berkomentar mengenai isu ini.

KTT Kim Jong-un bersama Xi Jinping di Beijing terjadi hanya dua hari setelah pemimpin Korea Utara menerima jaminan keamanan dari Presiden Rusia Vladimir Putin dalam sebuah pertemuan di Beijing

Presiden Rusia Vladimir Putin memuji keberanian pasukan Korea Utara yang dikirim untuk mendukung Rusia dalam perang di Ukraina, sementara Kim berjanji akan terus mendukung Moskow.

"Sekembalinya ke Korea Utara, rezim Kim akan mulai gencar mempromosikan kebijakan luar negerinya, yaitu 'jaminan keamanan dari Rusia, dukungan ekonomi dari Tiongkok', baik di dalam negeri maupun internasional," ujar Yang.

Bagi Seoul, diplomasi Kim yang berprofil tinggi menggarisbawahi tantangan kompleks yang kini dihadapi pemerintahan Lee Jae Myung. Para analis mengatakan Korea Selatan harus berhati-hati dalam menavigasi kerja samanya dengan Washington, sekaligus menjaga komunikasi antar-Korea dengan Tiongkok dan Rusia.

Pemerintahan Lee kemungkinan akan memanfaatkan forum multilateral yang akan datang untuk meningkatkan profil diplomatiknya.

Presiden dijadwalkan menghadiri Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada 23 September, di mana ia diperkirakan akan mencari dukungan internasional yang lebih luas terkait isu-isu terkait Korea Utara.

Pemerintah juga berencana memanfaatkan pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada akhir Oktober di Gyeongju, Provinsi Gyeongsang Utara, sebagai platform lain untuk menggalang dukungan internasional bagi perdamaian di Semenanjung Korea.

Sementara itu, para analis mengatakan tidak adanya pertemuan puncak trilateral formal antara Kim, Xi, dan Putin di sela-sela parade militer menggarisbawahi keterbatasan kemitraan mereka.

Setelah berunding dengan Xi pada hari Selasa, Putin kembali ke Rusia, sementara Kim kembali ke Pyongyang pada hari Kamis.

Meskipun menunjukkan solidaritas di depan umum, kepentingan inti ketiga negara tampak agak tidak selaras, sehingga menyulitkan perundingan formal atau pernyataan bersama.

Beberapa analis berpendapat bahwa Xi menghindari pertemuan trilateral untuk mencegah provokasi Amerika Serikat dengan membentuk blok yang terang-terangan anti-AS menjelang negosiasi tarif yang direncanakan dengan Presiden Donald Trump.

AS dan Tiongkok baru-baru ini memperpanjang gencatan senjata tarif hingga 10 November, memicu spekulasi bahwa kesepakatan dapat dicapai pada akhir Oktober atau awal November.

Korea Selatan berharap pertemuan APEC mendatang akan mempertemukan Trump dan Xi menjelang tenggat waktu yang berisiko tinggi.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved