Kamis, 2 Oktober 2025

Partai Nasional Kashmir Tuntut Pembebasan Mahasiswa yang Ditangkap di Rawalkot

UKPNP mengutuk keras penangkapan dan penyiksaan terhadap mahasiswa dan pemuda di Rawalakot, Jammu dan Kashmir (PoJK) yang menduduki Pakistan.

Editor: Wahyu Aji
dok. Kompas
ILUSTRASI DITANGKAP - UKPNP mengutuk keras penangkapan dan penyiksaan terhadap mahasiswa dan pemuda di Rawalakot, Jammu dan Kashmir (PoJK) yang menduduki Pakistan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Nasional Rakyat Kashmir Bersatu (UKPNP) mengutuk keras penangkapan dan penyiksaan terhadap mahasiswa dan pemuda di Rawalakot, Jammu dan Kashmir (PoJK) yang menduduki Pakistan.

Partai ini menghimpun bekas negara bagian Burushal, Dardistan, Boloristan, Ladakh, Purig, Kishtwar, Duggart, Poonch, dan Lembah Kashmir.

UKPNP mengklaim berjuang melalui revolusi nasional yang demokratis dan tanpa kekerasan.

Rawalkot adalah sebuah kota yang terletak di wilayah Azad Jammu dan Kashmir, Pakistan.

Kota ini berada di kawasan pegunungan dan dikenal dengan pemandangan alamnya yang indah, sering dijuluki sebagai "Mini Kashmir" karena lanskapnya yang mirip dengan Lembah Kashmir.

Dikutip dari Tribune India, Senin (1/9/2025), postingan yang dibagikan UKPNP di media sosial menuntut pembebasan tanpa syarat dan segera bagi mahasiswa yang ditahan.

"Mereka yang bertanggung jawab atas mahasiswa yang ditangkap. Kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat adalah hak-hak dasar yang harus dilindungi," demikian pernyataan dalam unggahan tersebut, dikutip Senin.

UKPNP bahkan menyoroti dan membawa masalah ini di forum internasional. Kemudian, menginformasikannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Jamil Maqsood, Presiden Komite Urusan Luar Negeri UKPNP, mengecam keras gelombang penangkapan, penindasan mahasiswa, dan tindakan keras polisi di Jammu dan Kashmir (PoJK) yang diduduki Pakistan. Ia memperingatkan taktik keras pemerintah memicu kerusuhan di Rawalakot, PoJK.

Menurut Maqsood, rangkaian peristiwa tersebut bermula pada malam 13-14 Agustus 2025. Tepatnya, ketika pasukan keamanan melakukan penangkapan besar-besaran setelah meneriakkan slogan-slogan di Rawalakot. 

Selama dua hari berikutnya, 41 orang ditahan, 10 di antaranya, termasuk empat mahasiswa, didakwa terkait terorisme. Sementara itu, 31 orang dibebaskan tanpa syarat.

Ia mengatakan penangkapan ini langsung memicu protes. Pada 16 Agustus, partai-partai pro-kemerdekaan menggelar demonstrasi menuntut pembebasan para tahanan dan menetapkan batas waktu 19 Agustus.

Aksi Protes Mahasiswa

Ketika batas waktu berlalu, unjuk rasa lain digelar pada 19 Agustus, meskipun jumlahnya dikurangi setelah seorang dosen perempuan Universitas Poonch meninggal dunia secara tragis dalam banjir bandang.

Namun, para pengunjuk rasa memperingatkan bahwa jika para tahanan tidak dibebaskan sebelum 29 Agustus, karantina wilayah total akan diberlakukan mulai 30 Agustus.

Maqsood menekankan bahwa mahasiswa kemudian memimpin.

Aliansi Mahasiswa mengumumkan protesnya pada 22 Agustus dan melakukan aksi duduk di luar pengadilan pada 26 Agustus, melancarkan aksi mogok makan ketika tuntutan mereka diabaikan. 

Pada malam yang sama, Komite Aksi Awami (AAC) juga bertemu di Rawalakot dan kemudian menyatakan solidaritas dengan para mahasiswa.

Pemimpin AAC, Umar Nazir, memperingatkan bahwa pihak administrasi akan bertanggung jawab atas segala bentuk kekerasan terhadap pemuda.

Maqsood mencatat bahwa kesehatan dua mahasiswa memburuk, dan mereka dirawat di rumah sakit.

Laporan juga muncul bahwa keluarga para tahanan dipaksa menandatangani dokumen hukum di luar kehendak mereka. 

Pada 28 Agustus, Aliansi Mahasiswa meningkatkan protes mereka menjadi aksi duduk di kamp mogok makan, yang diikuti tokoh pemuda berpengaruh, Umar Nazir.

Namun, upaya mediasi gagal meyakinkan mahasiswa, yang menolak usulan penundaan pembebasan hingga 30 Agustus. Tuduhan juga muncul bahwa para negosiator sengaja mengulur waktu karena afiliasi politik.

Pembebasan Segera dan Tanpa Syarat

Protes tersebut kemudian berubah menjadi demonstrasi dan aksi duduk di dekat Penjara Distrik.

Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, polisi justru melancarkan serangan menggunakan tongkat pemukul, menangkap 17 pengunjuk rasa, dan membubarkan massa. 

Sebagai tanggapan, Umar Nazir menyerukan penguncian total di seluruh Divisi Poonch mulai tengah malam pada 29 Agustus, sehari lebih awal dari rencana awal protes kelompok-kelompok pro-kemerdekaan.

Maqsood mengatakan perkembangan ini menunjukkan intoleransi pemerintah terhadap hak-hak demokrasi.

Ia menekankan bahwa mahasiswa dan aktivis damai diperlakukan sebagai penjahat hanya karena menuntut keadilan dan pembebasan tanpa syarat para tahanan.

"Penyalahgunaan undang-undang terorisme terhadap pelajar dan warga negara yang tidak bersalah tidak dapat diterima," tegas Maqsood.

Dirinya juga mendesak masyarakat internasional untuk memperhatikan apa yang ia sebut sebagai penindasan sistematis terhadap perbedaan pendapat politik di PoJK.

Ia menegaskan kembali tuntutan UKPNP untuk: pembebasan segera dan tanpa syarat semua tahanan, pencabutan tuduhan terorisme palsu, dan perlindungan kebebasan demokratis di wilayah tersebut.

"Masyarakat PoJK tidak bisa dibungkam dengan penangkapan dan pentungan. Suara mereka untuk keadilan, martabat, dan kebebasan akan semakin kuat," kata Maqsood.

SUMBER

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved