Jumat, 3 Oktober 2025

Beda dari Cacingan Balita Raya, Kasus Pertama Cacing Pemakan Daging pada Manusia Terkonfirmasi

Kasus manusia pertama dari infestasi parasit pemakan daging telah dikonfirmasi di Amerika Serikat (AS), beda dari kasus balita Raya

Kolase: kanal YouTube Official iNews
VIRAL BALITA RAYA - (Kiri) Bibi dari balita Raya bernama Endah saat menceritakan kondisi kehidupan sehari-hari dari ponakannya dan (Kanan) Foto rontgen yang memperlihatkan tubuh Raya dipenuhi cacing. Kasus manusia pertama dari infestasi parasit pemakan daging telah dikonfirmasi di Amerika Serikat (AS), beda dari kasus balita Raya 

TRIBUNNEWS.COM - Kasus manusia pertama dari infestasi parasit pemakan daging telah dikonfirmasi di Amerika Serikat (AS).

New World Screwworm (NWS), atau Cochliomyia hominivorax, adalah lalat parasit yang larva atau belatungnya menggali dan memakan jaringan hidup hewan berdarah panas, termasuk ternak, hewan peliharaan, satwa liar, dan kadang-kadang manusia.

Infestasi ini menyebabkan luka yang disebut myiasis, dan dapat berakibat fatal jika tidak diobati.

NWS biasanya ditemukan di Amerika Selatan dan Karibia, tetapi kasusnya telah menyebar ke utara, meningkatkan risiko reintroduksi ke Amerika Serikat.

NWS dalam kasus ini, seperti diberitakan BBC, ditemukan pada seorang pasien yang kembali ke AS dari El Salvador, ungkap Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan pada hari Senin.

Kasus ini dikonfirmasi pada 4 Agustus.

Miasis NWS adalah infestasi parasit larva lalat, atau belatung, yang disebabkan oleh lalat parasit.

Hama ini terutama menyerang ternak, dan pihak berwenang mengatakan risiko terhadap kesehatan masyarakat AS saat ini "sangat rendah".

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) bekerja sama dengan departemen kesehatan Maryland untuk menyelidiki kasus tersebut.

Juru bicara HHS, Andrew Nixon mengatakan ini adalah kasus manusia pertama myiasis NWS terkait perjalanan dari negara yang terkena wabah yang teridentifikasi di AS.

Meskipun ada upaya untuk menghentikan penyebarannya di utara, kasus kini telah dikonfirmasi di setiap negara Amerika Tengah, termasuk Meksiko.

Baca juga: 4 Menteri Prabowo Rapat Bahas Kasus Kematian Balita Karena Cacingan di Sukabumi

Manusia, terutama yang memiliki luka terbuka, rentan terhadap infestasi dan berisiko lebih tinggi jika mereka bepergian ke wilayah tersebut atau jika mereka berada di sekitar ternak di daerah pedesaan tempat lalat berada, kata CDC.

Layanan Inspeksi Kesehatan Hewan dan Tanaman USDA mengatakan pihaknya telah bermitra dengan lembaga pertanian lain, departemen luar negeri, dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menanggapi wabah tersebut.

"Ketika larva lalat NWS (belatung) menggali ke dalam daging hewan hidup, mereka menyebabkan kerusakan serius, bahkan seringkali fatal," menurut USDA.

"NWS dapat menginfeksi ternak, hewan peliharaan, satwa liar, terkadang burung, dan dalam kasus yang jarang terjadi, manusia."

Wabah ulat sekrup pada ternak dapat menimbulkan dampak ekonomi yang parah, mengancam aktivitas ekonomi senilai lebih dari $100 miliar (£73,9 miliar) yang terkait dengan industri sapi dan peternakan, kata USDA awal bulan ini.

Kasus Balita Raya

KISAH PILU RAYA - Kasus balita Raya(3) menyita perhatian publik beberapa waktu belakangan ini. Kesedihan mendalam dirasakan masyarakat saat melihat cuplikan video Raya yang sedang terkapar dirawat di rumah sakit lantaran tubuhnya dipenuhi cacing. Raya menghembuskan napas terakhir pada Juli 2025 lalu. Dalam video yang diunggah di akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin, disebutkan bahwa Raya meninggal dunia dengan tubuh penuh cacing.
KISAH PILU RAYA - Kasus balita Raya(3) menyita perhatian publik beberapa waktu belakangan ini. Kesedihan mendalam dirasakan masyarakat saat melihat cuplikan video Raya yang sedang terkapar dirawat di rumah sakit lantaran tubuhnya dipenuhi cacing. Raya menghembuskan napas terakhir pada Juli 2025 lalu. Dalam video yang diunggah di akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin, disebutkan bahwa Raya meninggal dunia dengan tubuh penuh cacing. (Kolase Instagram Rumah Teduh/Akbar Permana)

Raya (4) adalah bocah asal Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ia meninggal setelah sembilan hari koma dan dirawat di RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, pada 22 Juli 2025.

Raya meninggal karena penyakit cacingan atau Ascariasis.

Ascariasis adalah infeksi parasit Ascaris lumbricoides atau cacing gelang yang banyak ditemukan di dalam tanah.

Ascariasis sering terjadi pada anak-anak di wilayah tropis dan subtropis, terutama di kawasan dengan sanitasi buruk dan tidak higienis.

Diketahui, kisah Raya menjadi viral setelah diunggah oleh akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin pada Kamis (14/8/2025).

Rumah Teduh Sahabat Iin mengungkapkan pihaknya mengevakuasi Raya dari rumahnya di Desa Cianaga pada 13 Juli 2025, dalam keadaan tak sadarkan diri, untuk dibawa ke rumah sakit.

Saat menjalani pemeriksaan lebih lanjut, terungkap Raya mengidap penyakit cacingan ekstrem.

Berdasarkan hasil rontgen, ditemukan ratusan cacing di dalam tubuh Raya. Parahnya, cacing-cacing itu hidup dan bermukim sampai ke otak Raya.

Karena kondisi keluarga Raya yang tak mampu dan orang tuanya mengalami gangguan mental, pengobatan bocah malang itu terkendala masalah administrasi.

Raya diketahui tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), sehingga ia tak mempunyai Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun ikut program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Meski pihak Rumah Teduh Sahabat Iin mencoba mengurus ke Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, hasilnya nihil.

Raya sama sekali tidak mendapat kemudahan untuk mengurus proses administrasi demi pengobatannya, padahal sedang dalam kondisi kritis.

Hasilnya, pengobatan Raya ditanggung secara mandiri oleh Rumah Teduh Sahabat Iin dengan mengandalkan donatur.

Sembilan hari berjuang melawan penyakitnya di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), Raya dinyatakan meninggal pada 22 Juli 2025.

Kepala Desa Cianaga, Wardi Sutandi, mengungkapkan kedua orang tua Raya diduga mengalami keterbelakangan mental.

Ibu Raya disebut mengalami gangguan jiwa, sedangkan sang ayah mengidap penyakit paru-paru Tuberkulosis (TBC).

"Kedua orang tuanya memiliki keterbelakangan mental, sehingga daya asuh terhadap anaknya kurang, tidak tahu persis bagaimana kondisi anaknya," kata Wardi kepada awak media di RSUD Sekarwangi Cibadak, Selasa (19/8/2025), dikutip dari Kompas.com.

Karena kondisi orang tua yang memprihatinkan, Raya sering diasuh oleh nenek atau sanak saudaranya.

Sejak kecil, Raya dibiarkan bermain di bawah kolong rumahnya bersama ayam-ayam.

Kebiasaan itu yang diduga kuat membuat Raya mengidap cacingan ekstrem.

Ketika mendengar berita kematian Raya, Dedi Mulyadi mengaku langsung menghubungi dokter yang menangani balita tersebut.

Menurut keterangan dokter, Raya memang mengidap penyakit cacingan hingga membuat bocah malang itu meninggal dunia.

"Saya barusan sudah telepon dokter yang menanganinya. Berdasarkan keterangan dari dokter, bahwa anak itu memiliki penyakit kalau dalam bahasa kampungnya, cacingan," ungkap Dedi, Selasa.

"Ibunya mengalami gangguan kejiwaan atau ODGJ. Dia (Raya) sering dirawat oleh neneknya. Dan bapaknya mengalami penyakit paru-paru, TBC."

"Sejak balita, (Raya) terbiasa (bermain) di kolong rumah, bersatu dengan ayam dan kotoran. Sehingga dimungkinkan dia sering tangannya tidak pernah dicuci, kemudian mulutnya kemasukan cacing, sehingga menimbulkan cacingan yang akut," jelas Dedi.

Pengobatan Cacing

Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI, DR Dr. Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes menjelaskan, secara umum obat cacing memang bisa digunakan untuk berbagai jenis cacing. 

Aturan penggunaan dan dosis bisa berbeda-beda, bergantung usia dan jenis cacing yang menyerang tubuh.

Ilustrasi anak cacingan
Ilustrasi anak cacingan (NET)

“Di atas satu tahun, Albendazole aman. Buat semua jenis cacing, yang membedakan nanti ada yang diminumnya sehari, ada yang harus diminumnya tiga hari, nah itu ya, dosis hampir sama semua."

"Di bawah satu tahun, kita bisa pilih yang Pirantel Pamoat. Itu untuk di bawah satu tahun,” jelasnya pada diskusi media virtual, Minggu (24/8/2025). 

Menurutnya, obat cacing termasuk obat yang sederhana dan tidak rumit. 

Dosisnya pun mudah disesuaikan dengan usia maupun berat badan. 

Namun, tantangan sebenarnya justru ada pada ketersediaan obat tersebut di fasilitas kesehatan.

“Yang penting adalah ketersediaannya. Karena obatnya murah, mudah, kadang-kadang nggak kepikiran rumah sakit besar untuk menyediakan. Jadi kadang-kadang tidak mudah ketemu,” ungkapnya.

Meski begitu, masyarakat tidak perlu cemas. Ia menegaskan bahwa dinas kesehatan umumnya selalu menyediakan obat cacing.

Masyarakat bisa mendapatkannya dengan mudah bila dibutuhkan.

Pertanyaan kedua yang banyak diajukan masyarakat adalah, apakah cacingan bisa sembuh sendiri jika dibiarkan tanpa pengobatan?

Dr Riyadi menegaskan, cacingan tidak akan sembuh dengan sendirinya. 

Pasalnya, cacing dalam tubuh dapat bertahan hidup hingga bertahun-tahun, bahkan menghasilkan telur dan larva baru yang memperburuk kondisi penderita.

“Namanya juga mikroorganisme. Yang terjadi kalau kita biarin tadi, dia bisa hidup 1-2 tahun. Yang dewasanya mati, ngeluarin cacing. Cacingnya itu ngeluarin telur, larva. Jadi generasi yang kedua yang hidup dalam tubuh. Jadi obat cacing, kalau cacingan harus diminum,” tegasnya. 

Jika dibiarkan, gejala cacingan biasanya akan semakin terasa, mulai dari gangguan pencernaan, penurunan nafsu makan, hingga gangguan gizi. 

Karena itu, pengobatan dengan obat cacing tetap wajib dilakukan.

Dokter mengimbau masyarakat agar tidak menyepelekan cacingan, terutama pada anak-anak. 

Konsumsi obat cacing perlu dilakukan sesuai indikasi medis, dosis yang tepat, dan tentunya mengikuti arahan tenaga kesehatan.

Dengan pengobatan yang tepat, cacingan bisa diatasi dengan efektif dan risiko komplikasi dapat dicegah.

(Tribunnews.com/Chrysnha, Aisyah Nursyamsi)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved