Bayar untuk Kerja, Anak Muda di China Rela Rogoh Kocek Demi Tampil Produktif
Pada Juni 2025, tingkat pengangguran anak muda di Tiongkok tercatat 14,5 persen, hanya sedikit membaik dari 14,9 persen pada Mei.
Tak hanya duduk dan berpura-pura, beberapa peserta benar-benar memanfaatkan waktu ini untuk mencari pekerjaan, belajar skill baru, atau memulai bisnis daring.
Bagi banyak dari mereka, 'berpura-pura kerja'lebih baik daripada terlihat menganggur.
Pendiri 'Kantor Palsu': Uang Bukan Tujuan Utama
Pendiri Pretend To Work Company, yang dikenal dengan nama samaran Feiyu, mengatakan bahwa motivasi utamanya bukan uang, tapi eksperimen sosial.
“Yang saya jual bukan meja kerja, tapi martabat. Tempat ini memberi mereka alasan untuk bangun pagi,” ujarnya.
Feiyu sendiri pernah mengalami depresi setelah kehilangan bisnis selama pandemi.
Ia paham betul rasa tidak berdaya saat kehilangan arah.
Pada April 2025, ia mulai membuka kantor pura-pura ini dan dalam sebulan semua stasiun kerja penuh.
Feiyu mengatakan bahwa profil pelanggannya pun beragam.
Seperti, 40 persen adalah lulusan baru yang membutuhkan bukti magang untuk mendapatkan ijazah.
Sementara 60 persen sisanya adalah freelancer, penulis daring, pekerja e-commerce dan digital nomad (orang yang bekerja secara remote).
Mereka datang bukan hanya untuk 'pura-pura sibuk', tapi juga untuk menghindari tekanan keluarga, menjaga rutinitas, dan membangun koneksi sosial.
Menjaga Harga Diri, Menekan Stres
Menurut Dr. Biao Xiang, direktur Institut Max Planck untuk Antropologi Sosial, tren ini berakar dari “frustrasi dan ketidakberdayaan” generasi muda China.
“Berpura-pura bekerja menciptakan ruang aman psikologis di tengah tuntutan masyarakat yang tak memberi ruang untuk gagal," jelasnya.
Di Shanghai, Xiaowen Tang, 23 tahun, menyewa stasiun kerja hanya untuk memenuhi tuntutan kampus yang mewajibkan bukti kerja pasca kelulusan.
Sambil duduk di ruang kantor, ia menulis novel daring untuk uang saku.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.