Minggu, 5 Oktober 2025

Konflik Thailand Vs Kamboja

Tunda Ekstradisi 18 Tentara Kamboja, Hun Sen Tuding Thailand Langgar Konvensi Jenewa

Di dalam unggahannya di Facebook tersebut, Hun Sen mengklaim pihak Thailand melakukan pelanggaran Konvensi Jenewa dengan menyandera 18 prajurit

Penulis: Bobby W
Unggahan Facebook akun resmi Samdech Hun Sen of Cambodia
HUN SEN KAMBOJA - Unggahan Presiden Senat Pemerintahan Kamboja, Hun Sen menyampaikan kecaman keras kepada Thailand yang dinilai telah melanggar konvensi Jenewa pada Senin ini (4/8/2025). 

TRIBUNNEWS.COM - Sosok Presiden Senat Pemerintahan Kamboja, Hun Sen menyampaikan kecaman keras kepada Thailand yang dinilai telah melanggar Konvensi Jenewa pada Senin (4/8/2025).

Konvensi Jenewa adalah serangkaian perjanjian internasional yang disepakati pada 1949 untuk melindungi korban konflik bersenjata, seperti tentara yang terluka, tawanan perang, dan warga sipil, dengan menetapkan standar kemanusiaan selama perang.

Mantan Perdana Menteri (PM) Kamboja pada tahun 1998 hingga 2023 tersebut menilai Thailand telah melanggar Konvensi Jenewa dengan menunda-nunda pemulangan 18 tentara mereka yang ditahan selama perang bulan Juni lalu.

Dikutip dari Thairath, kecaman tersebut disampaikan Hun Sen melalui unggahannya di akun resmi Facebook miliknya.

"Mengapa Thailand masih menolak memulangkan 18 tentara Kamboja tersebut?" tanya Hun Sen,

Hun Sen kemudian mengkritik langkah Thailand ini sama halnya dengan penyanderaan yang merupakan pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat.

Konvensi Jenewa Keempat, resmi berjudul "Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Warga Sipil dalam Masa Konflik Bersenjata", merupakan salah satu dari empat konvensi inti yang disepakati pada 1949. Konvensi ini menjadi landasan hukum internasional untuk melindungi warga sipil selama masa perang atau pendudukan militer, terutama dalam konflik bersenjata internasional

Di dalam unggahannya di Facebook tersebut, Hun Sen mengklaim pihak Thailand melakukan pelanggaran dengan menyandera 18 prajurit dari markas tentara Kamboja setelah perjanjian gencatan senjata disepakati, 

"Mereka bahkan mengalami sekitar 8 jam penyiksaan di saat perjanjian gencatan senjata telah melarang penyerangan terhadap pasukan, dan pihak yang memberikan bala bantuan kepadanya." kritik Hun Sen dalam unggahannya tersebut.

Hun Sen juga menyatakan telah mendiskusikan masalah tersebut dengan PM Kamboja saat ini yang merupakan anaknya sendiri yakni Hun Manet.

Di dalam unggahannya tersebut, Hun Sen menyatakan ia telah mendorong Hun Manet untuk segera melakukan koordinasi dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) terkait nasib 18 tentara Kamboja tersebut.  

Hun Sen juga menegaskan pihak Kamboja akan terus memantau situasi di perbatasan Thailand secara ketat guna meneggakkan perjanjian gencatan senjata yang telah berlaku.

Hal ini termasuk memperkuat langkah pertahanan diri terhadap serangan atau pelanggaran apa pun dari Thailand.

Baca juga: Mirip Indonesia, Malaysia Diminta Beli 30 Boeing dari AS Demi Tarif Turun ke 19 Persen

Kronologi Duduk Perkara Versi Thailand

Menanggapi unggahan Hun Sen tersebut, Angkatan Darat Kerajaan Thailand  membuat rilis yang menjelaskan status dari 18 tentara Kamboja yang mereka tahan saat ini pada Senin ini.

Dikutip dari kantor berita Thai PBS, Angkatan Darat Kerjaan Thailand menegaskan bahwa para Tentara Kamboja tersebut diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai Konvensi Jenewa 1949 yang selalu memprioritaskan perlindungan hak asasi manusia. 

Dalam klarifikasinya, Angkatan Darat Kerajaan Thailand menjelaskan penangkapan tentara Kamboja tersebut menurut versi mereka.

Adapun tentara Kamboja yang ditahan tersebut terlibat bentrokan dengan pasukan Thailand di kawasan Ban Sam Tae, Distrik Kantharalak, Provinsi Sisaket, pada 29 Juli 2025. 

Penangkapan tersebut dilakukan guna menindaklanjuti langkah pasukan Kamboja yang dinilai melanggar perjanjian gencatan senjata denan melancarkan serangan ke wilayah Thailand

Adapun perjanjian gencatan senjata resmi dimulai pada Senin tengah malam tanggal 28 Juli 2025 atau pada pukul 00.00 tanggal 29 Juli 2025.

Oleh karena itu, Thailand wajib mengambil tindakan militer yang diperlukan untuk menghalau agresi sekaligus memaksa pasukan Kamboja keluar dari kawasan tersebut.

Pasca-bentrokan, 20 tentara Kamboja yang terlibat dalam bentrokan kemudian menyerahkan diri di medan pertempuran. 

Angkatan Darat Kerajaan Thailand kemudian melucuti senjata dan menahan mereka sesuai prosedur militer, dengan tetap mematuhi prinsip kemanusiaan internasional pada setiap tahapannya. 

Kemudian, pada 1 Agustus 2025, Angkatan Darat Kerajaan Thailand telah memulangkan dua tawanan perang Kamboja yang terluka melalui Pos Perbatasan Tetap Chong Chom di Provinsi Surin.

Setelah mendapat perawatan medis dari pihak Thailand, kedua tawanan tersebut telah dalam kondisi stabil dan siap dipindahkan secara aman.

Adapun 18 tawanan perang sisanya tetap berada di bawah kendali Thailand dan akan dipulangkan setelah konflik bersenjata benar-benar berakhir, sesuai ketentuan Konvensi Jenewa.

Isi Konvensi Jenewa yang Dijalankan Thailand

Peristiwa ini telah menarik perhatian publik luas, terutama dari pihak Kamboja yang terus-menerus menyebarkan informasi Thailand telah melanggar Konvensi Jenewa.

Menanggapi hal tsrebut, Angkatan Darat Kerajaan Thailand menegaskan tentara Kamboja yang menyerah dan berada di bawah kendali Thailand diakui secara hukum internasional sebagai "tawanan perang".

Berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa 1949 yang juga diratifikasi oleh Thailand dan Kamboja, secara jelas disebutkan bahwa tawanan perang berlaku ketika:

  1. Kedua pihak berada dalam keadaan konflik bersenjata, dan
  2. Orang yang ditahan merupakan anggota angkatan bersenjata negara lawan.
  3. Status tawanan perang bukan merupakan hukuman, melainkan pengakuan atas hak dasar individu dalam situasi konflik bersenjata, yang meliputi:
  • Perlindungan dari kekerasan, penyiksaan, pemaksaan, serta eksperimen medis atau ilmiah.
  • Perlakuan manusiawi tanpa penghinaan atau publikasi yang tidak layak.
  • Pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, air minum, pakaian, perawatan kebersihan, dan layanan kesehatan.
  • Larangan penahanan tawanan perang di lokasi yang diatur dalam KUHP.
  • Hak menjalankan aktivitas keagamaan.
  • Pembebasan dan pemulangan setelah konflik bersenjata benar-benar berakhir (bukan hanya gencatan senjata).

Setelah penahanan, Angkatan Darat memindahkan seluruh tawanan perang dari zona bahaya pertempuran ke kawasan aman di wilayah tanggung jawab Komando Daerah Militer II, sekaligus memberikan dukungan dasar berupa makanan, air minum, pakaian, pemeriksaan fisik dan kesehatan oleh tim medis.

Baca juga: Imbas Serangan Kamboja setelah Gencatan Senjata, Mendagri Thailand Tunda Pemulangan Pengungsi

Semua hal itu dilakukan sesuai kerangka hukum humaniter internasional.

Angkatan Darat Kerajaan Thailand juga menegaskan kembali bahwa status "tawanan perang" di Konvensi Jenewa merupakan pengakuan hukum dalam kerangka hukum humaniter internasional. 

Pihak Thailand menegaskan status tahanan yang diberikan kepada 18 tentara Kamboja ini bukan pembatasan hak asasi manusia, melainkan mekanisme perlindungan hak asasi manusia selama masa perang.

Angkatan Darat Kerajaan Thailand juga menyatakan akan tetap berkomitmen pada prinsip hak asasi manusia, hukum internasional, serta kewajiban Thailand sebagai negara pihak dalam Konvensi Jenewa. 

Pihak Thailand juga menegaskan komitmennya untuk memperlakukan pasukan lawan, termasuk yang gugur dalam pertempuran, dengan penghormatan ketat terhadap martabat kemanusiaan.

Apa Itu Konvensi Jenewa?

Konvensi Jenewa merupakan serangkaian perjanjian internasional yang menjadi fondasi hukum humaniter dalam situasi konflik bersenjata, bertujuan melindungi mereka yang tidak terlibat atau telah berhenti berpartisipasi dalam pertempuran.

Perjanjian ini awalnya digagas oleh Henry Dunant setelah menyaksikan penderitaan korban Pertempuran Solferino pada 1859,

Konvensi ini kemudian berkembang menjadi kerangka hukum global yang diakui seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa saat ini. 

Konvensi Jenewa pertama disepakati pada 1864, namun versi paling mendasar dan berlaku hingga kini adalah Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat dokumen utama.

Konvensi I melindungi anggota militer yang terluka atau sakit di medan perang, sementara Konvensi II mengatur perlindungan serupa bagi korban di wilayah maritim.

Konvensi III khusus mengatur hak-hak tawanan perang, termasuk larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, sedangkan Konvensi IV menjamin keselamatan warga sipil selama masa pendudukan atau konflik.

Prinsip utama yang dijunjung tinggi dalam konvensi ini adalah kemanusiaan, diskriminasi (memisahkan target militer dan sipil), serta larangan kekejaman yang tidak perlu.

Baca juga: Mantan Petinggi Mossad dan Shin Bet Mendesak Donald Trump untuk Mendorong Netanyahu Akhiri Perang

Protokol Tambahan 1977 memperkuat cakupan konvensi dengan melindungi korban konflik bersenjata internal dan memperjelas larangan terhadap serangan yang membahayakan warga sipil. 

Komite Internasional Palang Merah (ICRC) juga didirkan melalui Konvensi Jenewa sebagai penjaga netralitas  yang memastikan kepatuhan negara-negara terhadap ketentuan konvensi sekaligus memberikan bantuan kemanusiaan di zona perang.

Setiap negara yang meratifikasi konvensi wajib mengintegrasikan prinsipnya ke dalam hukum domestik dan melatih pasukannya untuk mematuhinya.

Hingga saat ini, seluruh 196 negara anggota PBB telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949, menjadikannya salah satu instrumen hukum internasional paling universal.

Konvensi ini secara eksplisit melarang penyiksaan, eksekusi tanpa proses hukum, penggunaan manusia sebagai tameng, serta serangan terhadap rumah sakit dan infrastruktur sipil vital.

Pelanggaran berat terhadap konvensi, seperti genosida atau kejahatan perang, dapat diadili melalui pengadilan internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Contoh pelanggaran yang terkenal termasuk kasus penyiksaan di Penjara Abu Ghraib selama Perang Irak dan serangan terhadap rumah sakit di Suriah.

Meski demikian, tantangan modern seperti perang asimetris, konflik non-negara, dan penggunaan senjata cyber terus menguji relevansi penerapan konvensi.

Konvensi Jenewa tidak hanya berlaku dalam perang antarnegara, tetapi juga dalam situasi pendudukan militer atau pemberontakan bersenjata skala besar.

Perlindungan terhadap korban konflik, baik tentara yang lumpuh bertempur maupun warga sipil, ditegaskan tanpa memandang kewarganegaraan, agama, atau afiliasi politik.

Negara pelanggar konvensi dapat dikenai sanksi diplomatik, ekonomi, atau bahkan intervensi militer berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB.

ICRC juga memiliki mandat khusus untuk melakukan kunjungan rahasia ke lokasi penahanan guna memastikan kondisi tawanan sesuai standar internasional.

Pendidikan tentang Konvensi Jenewa juga telah menjadi bagian wajib dalam pelatihan militer di hampir semua negara untuk mencegah pelanggaran sejak dini. 

Konvensi ini juga mengakui peran penting organisasi kemanusiaan independen seperti Palang Merah dalam memberikan bantuan netral dan tidak memihak. 

(Tribunnews.com/Bobby)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved