Konflik Korea
Korea Selatan Mulai Bongkar Pengeras Suara Anti-Korea Utara di Perbatasan
Korea Selatan mulai menyingkirkan pengeras suara yang menyiarkan propaganda anti-Korea Utara di perbatasan sebagai langkah meredakan ketegangan.
TRIBUNNEWS.COM - Korea Selatan mulai menyingkirkan pengeras suara raksasa yang menyiarkan siaran anti-Korea Utara dan propaganda di sepanjang perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara pada Senin (4/8/2025).
Penyingkiran pengeras suara yang dipasang bertahun-tahun di perbatasan bertujuan untuk meredakan ketegangan dengan Korea Utara.
Sejak menjabat pada 4 Juni lalu, pemerintahan Presiden Lee Jae-myung berupaya menghidupkan kembali dialog yang terhenti dengan tetangganya itu.
"Pembongkaran pengeras suara oleh Korea Selatan mulai hari Senin hanyalah tindakan praktis untuk membantu meredakan ketegangan antara Korea Selatan dan Korea Utara," kata Kementerian Pertahanan Korea Selatan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, lapor Reuters.
Namun, Korea Utara baru-baru ini menolak tawaran tersebut dan mengatakan tidak berminat untuk berdialog dengan Korea Selatan.
Pada Juni lalu, Korea Selatan telah mematikan siaran propagandanya yang disiarkan melalui pengeras suara di perbatasan sebagai langkah awal meredakan ketegangan dengan Korea Utara.
"Presiden Lee Jae-myung menginstruksikan militer untuk menghentikan siaran lintas batas sebagai isyarat yang bertujuan untuk meredakan ketegangan dengan Korea Utara," kata juru bicara kantor kepresidenan Kang Yu-jung dalam jumpa pers pada Rabu (11/6/2025).
"Langkah tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen pemerintahan baru Korea Selatan untuk memulihkan kepercayaan dalam hubungan antar-Korea dan membangun perdamaian di Semenanjung Korea," katanya.
Selain itu, langkah tersebut bertujuan mengurangi konfrontasi militer antara kedua Korea dan membuka pintu untuk membangun kembali rasa saling percaya.
"Ini juga akan menjadi langkah praktis untuk meringankan penderitaan warga setempat yang terkena dampak kebisingan," katanya, seperti diberitakan Reuters.
Perang Korea pecah pada 25 Juni 1950, ketika Korea Utara yang didukung Uni Soviet dan China menyerang Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga: Korea Utara Tutup Pintu Dialog, Upaya Damai Presiden Baru Korsel Ditolak
Perang berakhir dengan gencatan senjata (armistice) pada 27 Juli 1953, tanpa perjanjian damai resmi, sehingga kedua negara secara teknis masih berperang.
Pemasangan pengeras suara oleh Korea Selatan di sepanjang DMZ (Zona Demiliterisasi) dimulai sejak 1963, dipakai sebagai alat propaganda oleh Korea Selatan untuk menyampaikan musik K‑pop, informasi demokrasi, dan kritik terhadap rezim Korea Selatan.
Penggunaan ini dihentikan pada tahun 2004 sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi kedua negara.
Pengeras suara raksasa kembali diaktifkan pada 10 Agustus 2015 setelah dua tentara Korea Selatan terluka akibat ranjau dari Korea Utara, dan meningkat setelah uji nuklir Korea Utara dan berbagai provokasi lainnya.
Terakhir, penggunaan massal dilanjutkan lagi pada 9 Juni 2024 sebagai respon atas pengiriman ribuan balon sampah, kotoran, dan baterai dari Korea Utara.
Korea Selatan membalasnya dengan mengirim balon berisi selebaran anti‑Korea Utara serta USB berisi K‑drama dan berita ke Korea Utara.
Pengeras suara ditempatkan di sejumlah titik garis depan dekat DMZ, termasuk daerah sekitar Provinsi Paju dan Gyeonggi di Korea Selatan, dengan jangkauan suara hingga 5–7 km ke utara dari perbatasan.
Selain unit pengeras suara tetap, Korea Selatan juga punya sejumlah pengeras suara bergerak (mobile/vehicle‑mounted), yang sempat aktif sebagian namun ditarik pasca‑Juni 2025 ketika siaran dihentikan oleh Presiden Lee Jae Myung.
Lee Jae-myung

Lee Jae-myung lahir pada 22 Desember 1964 di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara, Korea Selatan.
Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dalam keluarga yang bergumul dengan kemiskinan.
Ibunya bekerja sebagai pegawai toilet umum, sedangkan ayahnya sebagai petani dan petugas bersih-bersih lingkungan.
Seiring keluarga berpindah ke Seongnam (sebuah kota industri dekat Seoul), Lee mulai bekerja sebagai buruh pabrik sejak usia belia dan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cidera permanen pada lengan kiri, sehingga dibebaskan dari wajib militer.
Meski sempat putus sekolah, ia akhirnya berhasil lulus ujian setara menengah dan atas pada 1978 dan 1980, lalu melanjutkan ke Chung‑Ang University Jurusan Hukum berkat beasiswa, menyelesaikan studi dan lulus ujian pengacara negara pada 1986.
Setelah lulus, Lee bergabung dengan institusi pelatihan hukum dan membuka praktik hukum pada 1989, dikutip dari Britannica.
Ia aktif memperjuangkan hak buruh dan demokrasi melalui MINBYUN (Lawyers for a Democratic Society), serta menjadi direktur klinik advokasi buruh di Icheon dan Gwangju selama awal 1990-an.
Kemudian dia memimpin kekuatan sipil sebagai Direktur Solidaritas Rakyat Seongnam dan lembaga anti-korupsi kota selama lebih dari satu dekade, hingga 2005.
Karier politiknya dimulai ketika ia bergabung dengan Uri Party (pendahulu Partai Demokrat) pada 2005.
Ia gagal menjadi Walikota Seongnam dalam pemilu tahun 2006, namun sukses di pemilu berikutnya dan terpilih sebagai Walikota Seongnam tahun 2010, lalu terpilih kembali tahun 2014.
Pada Pemilu Presiden 2022, Lee kalah tipis dari Yoon Suk Yeol, dengan selisih suara hanya 0,73 persen, margin terkecil dalam sejarah politik Korea Selatan.
Meski demikian, ia kembali masuk DPR mewakili Incheon (2022–2025) dan memimpin Partai Demokrat Korea hingga April 2025.
Setelah Yoon Suk Yeol dimakzulkan akibat krisis hukum militer, Lee Jae-myung memenangi pemilu presiden darurat pada 3 Juni 2025, kemudian segera dilantik pada 4 Juni 2025 tanpa periode transisi biasa.
Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung memilih pendekatan damai untuk mengurangi ketegangan dengan Korea Utara karena ia menilai perdamaian lebih murah dan efektif daripada perang, lapor Al Jazeera.
Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, Lee tidak memutus komunikasi dengan Korea Utara. Ia justru membuka ruang dialog secara bertahap, mulai dari kerja sama kecil seperti bantuan kemanusiaan. Bila Korea Utara melanggar kesepakatan, sanksi bisa langsung diberlakukan kembali melalui sistem "snapback".
Lee juga menjaga keseimbangan hubungan luar negeri, tetap dekat dengan Amerika Serikat namun terbuka berdiplomasi dengan Tiongkok, Jepang, dan Rusia. Ia ingin Korea Selatan berperan aktif dalam keamanan kawasan, bukan hanya mengikuti negara besar.
Sebagai langkah awal, Lee menghentikan siaran propaganda lewat pengeras suara di perbatasan dan mulai membongkarnya pada Agustus 2025. Ini menjadi simbol komitmennya untuk meredakan ketegangan dengan cara yang lebih cerdas.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.