Konflik Suriah
Putin Bangun Hubungan Baru dengan Suriah, Rusia 'Move On' dari Rezim al-Assad
Pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin bangun hubungan baru dengan Suriah, Rusia mulai move on dari rezim Bashar al-Assad yang digulingkan.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Rusia memulai babak baru dalam hubungan bilateralnya dengan Suriah setelah pemberontakan yang melengserkan kekuasaan presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024.
Rezim Bashar al-Assad berkuasa selama puluhan tahun, di mana Bashar sendiri "meneruskan" kekuasaan ayahnya, Hafez al-Assad yang berkuasa pada tahun 1971.
Berasal dari Partai Ba'ath, Bashar berkuasa sejak tahun 2000 setelah kematian ayahnya, dengan sistem pemerintahannya yang dikritik banyak rakyat Suriah karena represi, militerisme, dan diskriminasi sektarian di Suriah.
Pemerintah Suriah yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed Al-Sharaa mengirim delegasi ke Rusia untuk memulai hubungan baru.
Pada tanggal 31 Juli 2025, Presiden Rusia Vladimir Putin menerima Menteri Luar Negeri Suriah Asaad al-Sheibani di Kremlin, menandai perubahan hubungan bilateral antara kedua negara.
Putin menerima al-Shaibani dan delegasi pendampingnya di Ibu Kota Rusia, Moskow.
Menteri Luar Negeri Suriah Asaad al-Sheibani dan Menteri Pertahanannya Murhaf Abu Qasra mengadakan pembicaraan dengan pejabat Rusia, menandai kunjungan resmi pertama pejabat Suriah ke Moskow sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad.
Kementerian Luar Negeri Suriah menggambarkan itu adalah pertemuan bersejarah antara Putin dan pejabat Suriah.
Asaad al-Shaibani menegaskan dimulainya fase baru pemahaman politik dan militer antara kedua negara, saling menghormati kedaulatan serta mendukung keutuhan wilayah.
Selama pertemuan tersebut, Putin menekankan posisi Rusia yang menolak intervensi Israel atau upaya untuk memecah belah Suriah dan menjanjikan peran Rusia untuk mendukung rekonstruksi dan pemulihan stabilitas di Suriah.
Assad Al-Shaibani mengatakan Suriah ingin memperbaiki hubungan dengan Rusia berdasarkan kepentingan rakyat Suriah dan membangun hubungan kemitraan yang adil dan seimbang, lapor Al Jazeera.
Baca juga: Suriah Siapkan Pemilu Parlemen Pertama Pasca Jatuhnya Rezim Assad, Digelar September Tahun Ini
Pertemuan Menteri Rusia dan Suriah
Sebelum bertemu Putin, Menteri Luar Negeri Suriah Assad Al-Shaibani bertemu pejabat tinggi Rusia, termasuk Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov dan Menteri Pertahanan Andrei Belousov, untuk membahas ulang semua perjanjian lama dari masa rezim Bashar al-Assad.
Kedua negara sepakat membentuk komite untuk mengevaluasi kerja sama agar lebih mengutamakan rakyat Suriah.
Assad Al-Shaibani menegaskan hubungan baru ini dibangun atas dasar saling menghormati dan kedaulatan, bukan warisan masa lalu.
Ia juga menyatakan Suriah tak bermusuhan dengan Israel, tapi menolak campur tangan asing.
Tentang konflik di Sweida, Suriah selatan (dekat Golan yang diduduki Israel), ia menyebut serangan Israel membuat tentara Suriah mundur dan memberi ruang bagi kelompok bersenjata asing untuk menghancurkan kedaulatan Suriah.
Sergey Lavrov menegaskan Rusia mendukung integritas wilayah Suriah, menolak intervensi asing, dan mendorong rekonstruksi serta keterlibatan semua kelompok, termasuk Kurdi, dalam pemerintahan.
Menutup pertemuan antara menteri tersebut, Sergey Lavrov mengatakan Rusia menantikan kedatangan Presiden Ahmed al-Shara di KTT Rusia-Arab pada Oktober mendatang.
Masa Lalu Hubungan Rusia dan Rezim al-Assad
Hubungan militer dan politik antara Rusia dan Suriah sudah berlangsung sejak era Hafez al‑Assad pada akhir 1960‑an dan terus menguat di era Bashar al‑Assad.
Sejak Maret 2011, saat gejolak "Arab Spring" meletus di Suriah, Rusia mulai mendukung rezim Bashar al-Assad secara politik dengan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Arab Spring adalah serangkaian gerakan protes, unjuk rasa, dan pemberontakan yang terjadi di negara-negara Arab pada awal tahun 2010-an.
Arab Spring dimulai di Tunisia dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara untuk menuntut perubahan politik.
Kaitannya dengan rezim di Suriah, Rusia memveto berbagai resolusi yang menyerukan pengunduran diri Bashar al-Assad dan potensi sanksi internasional, termasuk resolusi pada 4 Oktober 2011 dan Februari 2012, lapor UN News.
Perang sipil meletus di Suriah pada tahun 2011, dengan menjamurnya pemberontakan bersenjata, banyak tentara membelot dan membentuk Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
Selama tahun 2013 hingga 2014, kekacauan meningkat di Suriah, hingga pemerintah Bashar al-Assad dituduh menggunakan kekerasan untuk meredakan ketegangan, termasuk menggunakan senjata kimia di Ghouta (menewaskan lebih dari 1.000 warga).
Pada tahun 2014, kelompok bersenjata Islamic State of Iraq and the Levant (Negara Islam Irak dan Syam) atau ISIS/ISIL bangkit dan menguasai sebagian besar wilayah timur Suriah dan utara Irak.
Pada September 2015, Rusia melakukan intervensi militer langsung atas permintaan Bashar al-Assad yang kekuasaannya terancam.
Karena intervensi Rusia, Bashar al-Assad merebut kembali wilayah yang sempat hilang kendali, memperkuat posisinya, dan menjamin kelangsungan rezim.
Sebelum intervensi militer 2015, Rusia sudah mengekspor senjata ke Suriah dalam jumlah besar, dan pasokan meningkat secara signifikan dari tahun 2000 hingga 2011, sekitar dari US$9 juta (± Rp144 miliar) ke US$272 juta (± Rp4,35 triliun).
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.