Konflik Suriah
Putin Bangun Hubungan Baru dengan Suriah, Rusia 'Move On' dari Rezim al-Assad
Pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin bangun hubungan baru dengan Suriah, Rusia mulai move on dari rezim Bashar al-Assad yang digulingkan.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Whiesa Daniswara
Tentang konflik di Sweida, Suriah selatan (dekat Golan yang diduduki Israel), ia menyebut serangan Israel membuat tentara Suriah mundur dan memberi ruang bagi kelompok bersenjata asing untuk menghancurkan kedaulatan Suriah.
Sergey Lavrov menegaskan Rusia mendukung integritas wilayah Suriah, menolak intervensi asing, dan mendorong rekonstruksi serta keterlibatan semua kelompok, termasuk Kurdi, dalam pemerintahan.
Menutup pertemuan antara menteri tersebut, Sergey Lavrov mengatakan Rusia menantikan kedatangan Presiden Ahmed al-Shara di KTT Rusia-Arab pada Oktober mendatang.
Masa Lalu Hubungan Rusia dan Rezim al-Assad
Hubungan militer dan politik antara Rusia dan Suriah sudah berlangsung sejak era Hafez al‑Assad pada akhir 1960‑an dan terus menguat di era Bashar al‑Assad.
Sejak Maret 2011, saat gejolak "Arab Spring" meletus di Suriah, Rusia mulai mendukung rezim Bashar al-Assad secara politik dengan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Arab Spring adalah serangkaian gerakan protes, unjuk rasa, dan pemberontakan yang terjadi di negara-negara Arab pada awal tahun 2010-an.
Arab Spring dimulai di Tunisia dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara untuk menuntut perubahan politik.
Kaitannya dengan rezim di Suriah, Rusia memveto berbagai resolusi yang menyerukan pengunduran diri Bashar al-Assad dan potensi sanksi internasional, termasuk resolusi pada 4 Oktober 2011 dan Februari 2012, lapor UN News.
Perang sipil meletus di Suriah pada tahun 2011, dengan menjamurnya pemberontakan bersenjata, banyak tentara membelot dan membentuk Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
Selama tahun 2013 hingga 2014, kekacauan meningkat di Suriah, hingga pemerintah Bashar al-Assad dituduh menggunakan kekerasan untuk meredakan ketegangan, termasuk menggunakan senjata kimia di Ghouta (menewaskan lebih dari 1.000 warga).
Pada tahun 2014, kelompok bersenjata Islamic State of Iraq and the Levant (Negara Islam Irak dan Syam) atau ISIS/ISIL bangkit dan menguasai sebagian besar wilayah timur Suriah dan utara Irak.
Pada September 2015, Rusia melakukan intervensi militer langsung atas permintaan Bashar al-Assad yang kekuasaannya terancam.
Karena intervensi Rusia, Bashar al-Assad merebut kembali wilayah yang sempat hilang kendali, memperkuat posisinya, dan menjamin kelangsungan rezim.
Sebelum intervensi militer 2015, Rusia sudah mengekspor senjata ke Suriah dalam jumlah besar, dan pasokan meningkat secara signifikan dari tahun 2000 hingga 2011, sekitar dari US$9 juta (± Rp144 miliar) ke US$272 juta (± Rp4,35 triliun).
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.