Konflik Rusia Vs Ukraina
Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1.252, Trump Pangkas Deadline untuk Putin, Zelensky Semringah
Perang Rusia-Ukraina hari ke-1.252, Trump memangkas batas waktu untuk Presiden Rusia Putin agar mengakhiri perang. Zelensky bahagia sambut langkah AS.
TRIBUNNEWS.COM - Perang Rusia dan Ukraina memasuki hari ke-1.252 pada Selasa (29/7/2025), memperpanjang perang sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022.
Perang tersebut mengalami berbagai perkembangan di lapangan, serta berdampak pada situasi politik, salah satunya dukungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin kedua pihak berdamai.
Trump menekan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk melanjutkan perundingan dengan Ukraina yang bertujuan mengakhiri perang yang berlangsung lebih dari tiga tahun itu.
Presiden AS memangkas batas waktu dari 50 hari menjadi 10 hari, memberikan Putin lebih sedikit waktu untuk kembali ke meja perundingan dan mengakhiri perang sebelum AS melancarkan sanksi baru ke Rusia.
Trump bulan lalu mengancam akan memberlakukan tarif dagang sebesar 100 persen untuk Rusia dan tarif sekunder bagi mitra dagang Rusia, sanksi yang diharapkan dapat memberi pukulan pada perekonomian Rusia.
"Saya akan menetapkan batas waktu baru sekitar 10 atau 12 hari dari hari ini," kata Trump menanggapi pertanyaan saat duduk bersama Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer pada hari Senin (28/7/2025).
"Tidak ada alasan untuk menunggu. Tidak ada alasan untuk menunggu. Ini 50 hari. Saya ingin bermurah hati, tetapi kita tidak melihat kemajuan apa pun," ujarnya.
Para diplomat Rusia dan Ukraina bertemu di Istanbul pekan lalu, hanya menyepakati pertukaran tahanan.
Ukraina mengusulkan pertemuan puncak pada akhir Agustus antara Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky , dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, namun, Rusia menjawab pertemuan semacam itu hanya akan tepat jika mereka ingin menandatangani kesepakatan.
Perang tersebut merupakan buntut panjang dari ketegangan antara Ukraina dan Rusia sejak pecahnya Uni Soviet pada Desember 1991.
Pada awal invasinya, Putin mengklaim invasinya ke Ukraina bertujuan untuk menghilangkan kemampuan militer Ukraina yang dianggap mengancam Rusia, menyingkirkan unsur "neo-Nazi" yang dituduh ada dalam pemerintahan Ukraina, membela etnis Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk dari dugaan penindasan, mencegah Ukraina bergabung dengan NATO atau menjadi basis Barat, dan menolak keberadaan militer NATO di perbatasan Rusia.
Baca juga: Trump Ancam Rusia dengan Tarif 100 Persen jika Putin Tak Setop Perang
Zelensky Sambut Ancaman Trump ke Putin
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyambut baik ancaman Trump kepada Putin, menyebutnya sebagai langkah berani.
"Donald Trump menunjukkan sikap yang jelas dan tekad yang kuat," kata Zelensky pada hari Senin.
"Saya berterima kasih kepada Presiden Trump atas fokusnya dalam menyelamatkan nyawa dan menghentikan perang yang mengerikan ini ... Rusia memperhatikan sanksi, memperhatikan kerugian seperti itu," ujarnya.
Komentar itu muncul setelah presiden AS mengatakan akan memangkas batas waktu 50 hari yang ia tetapkan bagi Rusia untuk merundingkan perdamaian di Ukraina.
Trump pada hari Senin menetapkan batas waktu baru, tetapi masih belum tepat, yaitu 10 atau 12 hari dari hari ini bagi Rusia untuk mencapai kemajuan menuju perdamaian atau menghadapi konsekuensinya.
Dua minggu telah berlalu sejak Trump mengancam akan bertindak dalam 50 hari , menyisakan 36 hari dari batas waktu semula.
Ultimatum baru 10 atau 12 hari, berarti Presiden AS memberi Putin sekitar 25 hari lebih sedikit untuk berunding.
Trump telah mengancam sanksi terhadap Rusia dan pembeli ekspornya kecuali jika ada kemajuan, lapor The Guardian.
Trump Tidak Tertarik Berbicara dengan Putin
Pada hari Senin, Trump mengindikasikan bahwa ia tidak tertarik untuk berbicara langsung dengan Putin.
"Jika Anda tahu apa jawabannya, mengapa menunggu? Dan itu akan berupa sanksi dan mungkin tarif, tarif sekunder," kata Trump.
"Saya tidak ingin melakukan itu terhadap Rusia. Saya mencintai rakyat Rusia," katanya.
Trump berulang kali mengungkapkan rasa frustasinya terhadap Putin karena ia dianggap tidak berniat mengakhiri perang Rusia di Ukraina.
Presiden AS sebelumnya optimis ia dapat merayu Putin untuk kembali ke meja perundingan, namun upaya tersebut semakin sulit setelah Rusia menolak gencatan senjata yang dia usulkan, dan terus melanjutkan serangan udara secara masif terhadap Ukraina.
Turki Berharap Jadi Tuan Rumah Perundingan Rusia-Ukraina
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyatakan harapan bahwa perundingan damai antara Ukraina dan Rusia akan diselenggarakan dalam waktu dekat, yang akan mengarah pada berakhirnya perang.
"Merupakan harapan tulus Turki bahwa sebagaimana meja perundingan telah disiapkan di Istanbul, meja perundingan damai akan segera disiapkan di Turki, dan perang berdarah ini akan berakhir," kata Erdogan.
Merujuk pada negosiasi sebelumnya antara Ukraina dan Rusia di Istanbul, Erdogan mengatakan Turkiye telah mengintensifkan upaya diplomasi perdamaiannya.
"Sejak awal, kami telah menganut kebijakan yang seimbang, adil, dan damai dalam perang antara Rusia dan Ukraina," ujarnya.
Presiden Turki menekankan bahwa perang yang dilancarkan Rusia harus diakhiri dan mengatakan ia bersedia menjadi tuan rumah pertemuan antara Ukraina dan Rusia di tingkat kepala negara, lapor Pravda.
Serangan Siber, Maskapai Rusia Batalkan Sejumlah Penerbangan
Maskapai penerbangan Rusia Aeroflot terpaksa membatalkan puluhan penerbangan pada hari Senin setelah kelompok peretas pro-Ukraina yang mapan mengatakan telah melakukan serangan siber.
Dan Milmo melaporkan bagaimana papan keberangkatan di Bandara Sheremetyevo Moskow berubah menjadi merah karena penerbangan dibatalkan pada saat banyak orang Rusia sedang berlibur.
Para penumpang yang marah melampiaskan kemarahan mereka di media sosial.
"Saya sudah duduk di Bandara Volgograd sejak pukul 3.30! Penerbangan telah dijadwalkan ulang untuk ketiga kalinya!" tulis salah satu penumpang di media sosialnya.
"Pusat panggilan tidak tersedia, situs web tidak tersedia, aplikasi tidak tersedia," tulis yang lainnya.
Peretas "Silent Crow" Akui Lakukan Serangan Siber
Sebuah pernyataan yang mengaku berasal dari kelompok peretas bernama Silent Crow menyatakan bahwa mereka telah melakukan operasi tersebut bersama kelompok Belarusia bernama Cyber Partisans, dan mengaitkannya dengan perang Rusia di Ukraina.
"Jayalah Ukraina! Hidup Belarus!" demikian pernyataan tersebut.
Silent Crow mengatakan serangan siber tersebut merupakan hasil dari operasi selama setahun yang telah menembus jaringan Aeroflot secara mendalam, menghancurkan 7.000 server, dan menguasai komputer pribadi para pemberi kerja, termasuk para manajer senior.
Kelompok ini tidak memberikan bukti. Kelompok ini mengancam akan segera merilis data pribadi semua warga Rusia yang pernah terbang dengan Aeroflot.
Ukraina Melaporkan Serangan Rusia
Wilayah Sumy di Ukraina diserang Rusia mulai Senin hingga Selasa malam.
"Seorang pria berusia 45 tahun terluka oleh drone saat menggiring sapi ke padang rumput di komunitas Krasnopil," kata Oleg Grigorov, kepala pemerintahan daerah Sumy.
Selain itu, seorang pria berusia 66 tahun terluka ketika apartemennya dibombardir.
"Sekitar pukul 17.45, Rusia menyerang komunitas Burynska dengan empat drone serang. Serangan itu menghancurkan sebuah toko lokal," kata Grigorov.
"Salah satu pramuniaga terluka – ia segera diberikan bantuan medis dan nyawanya tidak dalam bahaya. Kerusakan juga tercatat pada bangunan tempat tinggal, pusat kebudayaan, bangunan non-perumahan, dan mobil," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.