Konflik Palestina Vs Israel
Kota Kemanusian Netanyahu Dikritik: Kuras Dompet Rp64 Triliun, Makan Waktu Lebih dari Setahun
Pembangunan "kota kemanusiaan" di Jalur Gaza diproyeksi akan memakan waktu lebih dari satu tahun dan menelan biaya fantastis, sekitar Rp 64 triliun
Penulis:
Namira Yunia Lestanti
Editor:
Yurika NendriNovianingsih
Khususnya di atas reruntuhan kota Rafah, sebagai tempat relokasi warga Palestina yang terusir akibat perang.
Gagasan ini pertama kali diumumkan secara resmi oleh Menteri Pertahanan Israel pada awal Juli 2025.
Pemerintah Israel mengklaim bahwa kota ini akan menjadi “zona aman sementara” bagi lebih dari 600.000 warga Palestina yang kini tinggal di tenda-tenda darurat di daerah al-Mawasi dan Rafah.
Tujuan utamanya, menurut Israel, adalah menyediakan kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, air bersih, makanan, dan layanan kesehatan bagi penduduk sipil selama konflik berlangsung.
Rencananya kota tersebut akan didesain seperti kompleks tertutup, lengkap dengan infrastruktur logistik, pengawasan keamanan, pos pemeriksaan, dan pengendalian akses.
Dikecam Lembaga Internasional
Meski disebut “kemanusiaan,” banyak pihak menilai rencana ini sangat problematik.
Berbagai lembaga kemanusiaan, organisasi HAM, hingga pemimpin dunia mengecam rencana tersebut.
Beberapa pihak bahkan menyamakannya dengan “kamp konsentrasi,” mengingat kebijakan isolatif yang akan diberlakukan terhadap penduduk kamp.
Philippe Lazzarini, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), sebelumnya telah memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat menjadi bentuk “Nakba kedua”, mengacu pada pengusiran besar-besaran warga Palestina pada 1948.
Ia menyebut rencana tersebut “secara de facto akan menciptakan kamp penahanan besar di perbatasan Mesir.”
Seruan penolakan juga datang dari dua mantan Perdana Menteri Israel, Yair Lapid dan Ehud Olmert.
Keduanya secara terbuka menyamakan proyek tersebut dengan kamp konsentrasi dan menuding pemerintahan Netanyahu telah melangkah terlalu jauh dalam penanganan krisis kemanusiaan di Gaza.
Kritik dan Kekhawatiran
Kritikan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, pasalnya rencana besar ini menimbulkan banyak pertanyaan, mulai dari segi moral, hukum internasional, hingga kelayakan teknis.
Tidak hanya soal anggaran fantastis yang diperlukan, melainkan juga efektivitas dan legitimasi pembangunan sebuah "kota" untuk menahan lebih dari dua juta warga sipil tanpa kepastian masa depan.
Organisasi HAM seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah menuntut agar komunitas internasional mendesak Israel membatalkan rencana ini.
Mereka menilai bahwa proyek ini bukan solusi, melainkan bentuk lain dari pembersihan etnis dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah AS maupun Uni Eropa terkait laporan perkiraan biaya dan waktu pembangunan kota tersebut.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.