Konflik Palestina Vs Israel
Tolak Negara Palestina, Netanyahu Ungkit 7 Oktober: Israel Harus Pegang Kendali
Netanyahu menolak negara Palestina dengan mengungkit serangan Hamas 7 Oktober dan sebut Israel harus mengendalikan keamanan di Jalur Gaza.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan ia menginginkan perdamaian dengan Palestina, namun kembali mengungkit alasan mengapa Israel tidak dapat menerimanya.
Netanyahu mengungkit mengenai serangan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) pada 7 Oktober 2023 sebagai alasan bahwa Israel harus memegang kendali keamanan di Jalur Gaza jika negara Palestina didirikan.
Berbicara di Gedung Putih, sekutu Netanyahu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ditanya wartawan mengenai solusi dua negara untuk Israel dan Palestina.
"Saya tidak tahu," kata Trump dan mengarahkan pertanyaan tersebut ke Netanyahu pada hari Senin (7/7/2025).
Netanyahu mengawali jawabannya dengan mengungkit serangan Hamas yang digambarkan sebagai niat untuk menghancurkan Israel.
Perdana Menteri Israel mengklaim itulah yang akan terjadi jika Palestina memiliki sebuah negara.
Ia juga menyerukan agar Israel mempertahankan otoritas keamanan di wilayah Palestina karena alasan ini.
"Saya percaya Palestina harus memiliki semua kekuasaan untuk memerintah diri mereka sendiri, tetapi bukan kekuasaan yang akan mengancam kita. Ini berarti bahwa otoritas kedaulatan, seperti keamanan menyeluruh, akan selalu berada di tangan kita," kata Netanyahu.
"Setelah 7 Oktober, orang-orang mengatakan Palestina memiliki negara, negara Hamas di Gaza, dan lihat apa yang mereka lakukan dengan negara itu. Mereka tidak membangunnya," tambahnya, seperti diberitakan Anadolu Agency.
Netanyahu kemudian menyebutkan sejumlah narasi yang berulang kali dipromosikannya untuk membenarkan serangan genosida Israel di Jalur Gaza.
Netanyahu juga menyebut-nyebut soal Holocaust, pembantaian orang Yahudi dan ras-ras lainnya yang dilakukan oleh Nazi Jerman pada masa pemerintahan Kanselir Adolf Hitler.
Baca juga: Jawaban Donald Trump saat Ditanya Mengapa AS Tak Bantu Ukraina seperti Israel?
"Mereka melakukan pembantaian mengerikan yang belum pernah kita lihat sejak Perang Dunia II, Nazi, Holocaust. Jadi, kecil kemungkinan orang akan berkata, 'Mari kita beri mereka negara lain,' yang akan menjadi platform untuk menghancurkan Israel," ujarnya.
Ia mengklaim Israel berupaya mencapai perdamaian di mana tidak ada pihak yang mengancam Israel.
"Kami akan berupaya mencapai perdamaian dengan tetangga Palestina kami, mereka yang tidak menginginkan kehancuran kami, dan kami akan berupaya mencapai perdamaian di mana keamanan kami dan kekuatan kedaulatan keamanan tetap berada di tangan kami selamanya," jelasnya.
Netanyahu juga menanggapi klaim yang mengatakan Palestina tidak menjadi negara yang utuh jika Israel masih melanjutkan pendudukannya.
"Sekarang orang akan berkata, 'Ini bukan negara yang utuh, ini bukan negara, ini bukan negara.' Kami tidak peduli. Kami bersumpah untuk tidak melakukannya lagi. Ini tidak akan pernah terjadi lagi sekarang. Ini tidak akan pernah terjadi lagi," katanya.
Sebelum berdirinya Israel pada tahun 1948, orang-orang di Palestina berupaya meraih kemerdekaannya dari mandat Inggris yang menduduki wilayah Palestina setelah Perang Dunia I.
Pada masa sebelum dan setelah Nazi memerintah di Jerman, terjadi migrasi besar-besaran orang Yahudi Eropa ke Palestina, mengakibatkan meningkatnya jumlah imigran di Palestina, menekan populasi orang-orang pribumi.
Selain itu, Deklarasi Balfour pada tahun 1917 mendorong lebih banyak gelombang migrasi orang-orang Yahudi Eropa ke Palestina.
Di sisi lain, gerakan Zionis mulai menjamur di Palestina dan memaksakan untuk mendirikan negara Yahudi.
Perang terjadi selama beberapa dekade antara Zionis dan orang-orang Palestina.
Pada tahun 1947, populasi Yahudi telah membengkak hingga 33 persen di Palestina, tetapi mereka hanya memiliki 6 persen tanah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut memberikan sekitar 55 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur.
Pada saat itu, Palestina memiliki 94 persen wilayah Palestina bersejarah dan mencakup 67 persen populasinya.
Sebelum mandat Inggris di Palestina berakhir, Ben Gurion yang merupakan salah satu tokoh Zionis mendeklarasikan berdirinya Israel pada tahun 1948.
Setelah deklarasi tersebut, orang-orang Yahudi mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dari rumah mereka dan diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh dalam peristiwa yang disebut "Nakba" tersebut.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.