Bisnis Tiongkok Disebut Menghadapi Hambatan Global, Seperti Apa?
Penolakan terhadap ekspansi bisnis Tiongkok disebut menunjukkan peningkatan.
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penolakan terhadap ekspansi bisnis Tiongkok disebut menunjukkan peningkatan.
Dikutip dari Geopolitico, Senin (21/4/2025), hal ini memperlihatkan bahwa era akses tanpa hambatan Tiongkok ke pasar global kemungkinan segera berakhir.
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan Tiongkok yang ingin memperluas jejak global menemui hambatan perlawanan di berbagai benua.
Dari negara-negara demokrasi Eropa hingga negara-negara Afrika, pemerintah membangun penghalang terhadap ambisi ekonomi Beijing, dengan alasan masalah keamanan nasional, praktik eksploitatif, dan risiko geopolitik.
Penolakan yang semakin besar disebut menandakan perubahan besar dalam cara dunia memandang kepentingan bisnis Tiongkok dan menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan untuk mempertahankan lintasan pengaruh ekonomi globalnya.
Keputusan Republik Ceko baru-baru ini untuk memblokir Emposat yang berkantor pusat di Beijing dari mengoperasikan stasiun bumi satelit di Moravia Selatan merupakan contoh meningkatnya kecemasan keamanan seputar investasi Tiongkok.
Meski pemasangan antena parabola tampak tidak berbahaya, badan intelijen Ceko menandai implikasi keamanan yang signifikan, yang menyebabkan pemerintah menerapkan langkah-langkah penyaringan investasi asing yang paling ketat.
Langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menandai penerapan pertama undang-undang Republik Ceko tahun 2021 yang dirancang untuk melindungi sektor-sektor sensitif dari investasi asing berisiko tinggi.
Dalih penolakan dan hambatan
Menurut sebuah dokumen, fasilitas milik perusahaan China, Emposat 'dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan Republik Ceko atau ketertiban internal atau publik'.
Badan kontraintelijen Ceko BIS secara eksplisit memperingatkan bahwa antena parabola 7,3 meter tersebut berpotensi digunakan untuk tujuan spionase.
"Investasi tersebut berdampak minimal pada lapangan kerja dan ekonomi, tetapi karena sifat fasilitas tersebut, hal itu mungkin memiliki implikasi keamanan yang signifikan. Insiden ini jauh dari terisolasi," ujar juru bicara Kementerian Marek Vošahlík.
Di seluruh Eropa dan Amerika Utara, perusahaan telekomunikasi Tiongkok telah menghadapi pengawasan yang semakin ketat dan larangan langsung.
Kecurigaan bahwa infrastruktur teknologi dapat berfungsi sebagai pintu belakang untuk pengumpulan intelijen Beijing telah sangat membatasi kemampuan perusahaan teknologi Tiongkok untuk menembus pasar Barat.
Di negara-negara Afrika yang kaya sumber daya, perusahaan-perusahaan Tiongkok menghadapi gelombang nasionalisme sumber daya yang semakin meningkat.
Junta militer Niger baru-baru ini mengusir tiga eksekutif senior Tiongkok dari perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di negara itu, termasuk perwakilan dari China National Petroleum Corporation (CNPC) dan Societe de Raffinage de Zinder (SORAZ).
Pemerintah juga mencabut izin operasi Soluxe International Hotel milik Tiongkok di Niamey.
Junta menuduh perusahaan-perusahaan ini gagal mematuhi amandemen tahun 2024 terhadap kode pertambangan Niger yang mengharuskan prioritas tenaga kerja, barang, dan jasa lokal.
Kesenjangan upah yang signifikan antara ekspatriat Tiongkok dan karyawan lokal telah memicu persepsi eksploitasi, sementara manajemen data keuangan dalam bahasa Mandarin telah meningkatkan tanda bahaya tentang transparansi dan potensi ekstraksi keuntungan.
Tindakan Niger mencerminkan niat yang lebih luas untuk mengurangi pengaruh asing di negara tersebut.
Pemerintah militer telah membekukan rekening bank SORAZ dan mengalihkan impor bahan bakar dari Nigeria alih-alih memanfaatkan infrastruktur yang dioperasikan oleh Tiongkok. Tantangan langsung ini membahayakan investasi besar CNPC, termasuk 60 persen sahamnya di SORAZ dan keterlibatannya dalam jaringan pipa Niger-Benin.
Tren serupa muncul di tempat lain di benua itu.
Di Zambia, tumpahan asam di tambang milik Tiongkok yang dioperasikan oleh Sino-Metals Leach mencemari Sungai Kafue, yang memaksa pihak berwenang untuk menutup pasokan air ke kota Kitwe.
Bencana lingkungan seperti itu hanya memperkuat persepsi negatif terhadap praktik bisnis Tiongkok di Afrika dan memperkuat seruan untuk pengawasan yang lebih besar atas operasi mereka.
Mungkin tidak ada tempat lain yang lebih menonjol sentimen anti-Tiongkok selain di Myanmar, tempat media sosial telah menjadi sarang permusuhan terhadap kepentingan Tiongkok. Sebuah studi terkini yang dilakukan oleh platform media sosial Tiongkok Toutiao dan perusahaan analisis Insecurity Insight mengungkap pola ujaran kebencian yang sangat meresahkan yang menargetkan Tiongkok dan warga Tiongkok di Myanmar antara Juli 2024 dan Februari 2025.
Kebencian daring ini terwujud dalam bahasa yang tidak manusiawi, menyalahkan Tiongkok secara menyeluruh atas masalah sosial, dan bahkan seruan eksplisit untuk melakukan kekerasan. Komentar seperti “usir warga negara Tiongkok; lakukan genosida jika perlu” mencerminkan bagaimana permusuhan yang tidak terkendali dapat menormalkan retorika yang berbahaya.
Kontrol perbatasan dan blokade yang diberlakukan oleh Tiongkok di pos pemeriksaan di Negara Bagian Shan bagian utara telah meningkatkan ketegangan dengan membatasi pergerakan barang-barang penting. Warga Myanmar juga menghubungkan Tiongkok dengan junta militer, memandang hubungan kerja sama mereka sebagai bentuk pengabaian sinis terhadap hak asasi manusia.
Para pengunjuk rasa di Lashio baru-baru ini meminta Tiongkok untuk berhenti mencampuri urusan mereka, khususnya menolak tekanan Tiongkok terhadap Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) untuk menyerahkan kendali wilayah kepada junta.
Dampak Hambatan
Dampak kumulatif dari penolakan ini mengancam akan menggagalkan strategi ekonomi global ambisius Tiongkok.
Proyek-proyek di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) semakin dipandang dengan kecurigaan alih-alih antusiasme.
Negara-negara yang dulu menyambut investasi Tiongkok sebagai penyeimbang pengaruh Barat kini mempertanyakan apakah mereka hanya menukar satu bentuk ketergantungan ekonomi dengan bentuk ketergantungan ekonomi lainnya.
Perusahaan-perusahaan Tiongkok menghadapi sebuah paradoks: keunggulan kompetitif mereka sering kali bergantung pada dukungan negara, namun hubungan ini justru menjadikan mereka target masalah keamanan nasional.
Batas yang kabur antara kepentingan perusahaan swasta dan negara dalam model ekonomi Tiongkok menciptakan kerentanan yang melekat saat beroperasi di luar negeri.
Respons diplomatik Beijing terhadap tantangan-tantangan ini biasanya berfluktuasi antara kemarahan dan paksaan ekonomi. Saat menghadapi perlawanan, otoritas Tiongkok sering kali membingkai kritik sebagai "campur tangan dalam urusan internal" atau mengancam konsekuensi ekonomi.
Akan tetapi, pendekatan ini menghasilkan hasil yang semakin berkurang karena semakin banyak negara yang memprioritaskan keamanan dan kedaulatan atas insentif ekonomi.
Meningkatnya resistensi global menandakan perhitungan mendasar bagi model bisnis Tiongkok di luar negeri.
Strategi memanfaatkan kekuatan ekonomi untuk mendapatkan pengaruh politik tampaknya semakin tidak berkelanjutan karena negara tuan rumah menegaskan kontrol yang lebih besar atas sumber daya dan infrastruktur mereka.
Bagi perusahaan Tiongkok, adaptasi akan membutuhkan lebih dari sekadar perubahan yang dangkal. Transparansi sejati, praktik ketenagakerjaan yang adil, tanggung jawab lingkungan, dan penghormatan terhadap kedaulatan lokal harus menggantikan pendekatan ekstraktif yang telah menjadi ciri banyak usaha di luar negeri.
Tanpa transformasi tersebut, bisnis Tiongkok akan terus menghadapi pintu tertutup dan penerimaan yang tidak bersahabat di dunia yang semakin waspada.
Ketika negara-negara dari Eropa, Afrika, hingga Asia Tenggara mengkalibrasi ulang hubungan mereka dengan kepentingan bisnis Tiongkok, Beijing menghadapi pilihan yang sulit: mereformasi pendekatannya terhadap perdagangan global atau menyaksikan pengaruh ekonominya memudar dalam menghadapi perlawanan yang gigih.
Penolakan yang meningkat terhadap ekspansi bisnis Tiongkok menunjukkan bahwa era akses tanpa hambatan ke pasar global mungkin akan segera berakhir bagi ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Iran Potensial Beli Jet J-10C China: Langit Suriah Bakal Jadi Arena Pertempuran Lawan F-35 Israel |
![]() |
---|
Lubarto Warga Moskow Berdarah Jawa, Dorong Bisnis dan Pendidikan Indonesia - Rusia |
![]() |
---|
Hasil China Masters 2025: Lolos 16 Besar, Peluang Tinggi Fajar/Fikri Jumpa Wakil Tuan Rumah Lagi |
![]() |
---|
InI Rahasia Dibalik Lancarnya Produksi Perusahaan Otomotif Besar |
![]() |
---|
Donald Trump dan Xi Jinping Sepakat Selamatkan Tiktok AS, Ini Syaratnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.