Konflik Rusia Vs Ukraina
Demi Perdamaian Ukraina, AS Siap Akui Krimea Milik Rusia, Zelensky Meradang
Bloomberg News melaporkan AS siap mengakui Rusia mengendalikan Krimea sebagai bagian dari kesepakatan damai yang lebih luas antara Moskow dan Kyiv.
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat dikabarkan siap mengakui Rusia mengendalikan Krimea sebagai bagian dari kesepakatan damai yang lebih luas antara Moskow dan Kyiv.
Laporan ini diungkap oleh Bloomberg News, yang mengutip sumber-sumber dekat dengan proses negosiasi.
Keputusan akhir terkait pengakuan tersebut belum diambil.
Dikutip dari Japan Times, Gedung Putih maupun Departemen Luar Negeri AS menolak memberikan komentar saat dimintai tanggapan.
Langkah ini menunjukkan keinginan kuat Presiden Donald Trump untuk mempercepat tercapainya gencatan senjata di Ukraina.
Trump dan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio sebelumnya telah menyatakan jika tidak ada kemajuan signifikan, Washington siap menarik diri dari proses perundingan.
Krimea dianeksasi oleh Rusia pada 2014 lewat referendum kontroversial di bawah pendudukan militer.
Hingga kini, sebagian besar negara dunia menolak mengakui wilayah itu sebagai bagian dari Rusia, karena dianggap sebagai bentuk aneksasi ilegal yang melanggar hukum internasional.
Bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, pengakuan atas Krimea akan menjadi pencapaian besar.
Zelensky Meradang
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menentang keras kemungkinan tersebut.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1.150: Zelensky Nilai Gencatan Senjata Energi Cuma Kedok
Ia bersikeras negaranya tidak akan menyerahkan satu inci pun wilayahnya kepada Moskow.
“Saya tegaskan: wilayah Ukraina adalah milik rakyat Ukraina. Kami tidak akan membahas apa pun sebelum ada gencatan senjata,” kata Zelensky di Kyiv, dikutip dari Bloomberg.
Laporan juga menyebutkan bahwa AS telah menyodorkan proposal damai kepada sekutunya dalam pertemuan di Paris, termasuk gambaran soal penghentian pertempuran dan pelonggaran sanksi terhadap Rusia bila gencatan senjata dapat ditegakkan secara konsisten.
Dalam rancangan itu, garis depan konflik akan dibekukan dan wilayah Ukraina yang dikuasai Rusia saat ini tetap berada dalam kontrol Moskow.
Isu keanggotaan Ukraina di NATO juga tidak akan dibahas dalam tahap ini.
Pertemuan Paris turut melibatkan Presiden Prancis Emmanuel Macron, utusan AS Steve Witkoff, serta para pejabat dari Jerman, Inggris, dan Ukraina.
Pertemuan lanjutan akan digelar di London pekan depan untuk memperdalam pembahasan.
Meski begitu, Trump mulai menunjukkan ketidaksabarannya.
Dalam konferensi pers di Gedung Putih, ia berkata, “Jika ada pihak yang mempersulit, kami akan angkat tangan dan katakan: Anda bodoh, Anda jahat, dan kami akan mundur.”
Salah satu tantangan utama dalam proposal ini adalah jaminan keamanan untuk Ukraina, agar kesepakatan damai bisa bertahan.
Senator Rubio menyebut jaminan tersebut sebagai tuntutan yang masuk akal dari pihak Kyiv.
Negosiasi juga mencakup rencana pengawasan gencatan senjata dan kemungkinan pengerahan pasukan penjaga perdamaian.
Rusia terus melancarkan serangan, termasuk pengeboman ke kota Sumy di Ukraina timur laut, yang menewaskan 35 orang.
Baca juga: Su-27 Ukraina Serang Ponton Rusia di Kursk dengan Bom Luncur GBU-39 Buatan AS
Usulan damai ini menjadi ujian besar bagi solidaritas sekutu Barat, terutama terkait pencabutan sanksi terhadap Rusia, yang memerlukan persetujuan bulat dari negara-negara Uni Eropa.
Dalam wawancara dengan Fox News, Steve Witkoff menyebut bahwa inti dari kesepakatan menyangkut "lima wilayah" tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Rusia tetap menuntut pengakuan atas semua wilayah yang telah direbut sejak 2014, termasuk Krimea, Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson.
Zelensky menanggapi pernyataan Witkoff dengan keras, menyebutnya “mengadopsi strategi Rusia” dan menegaskan bahwa Trump tidak memiliki mandat untuk membicarakan wilayah Ukraina.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.