Sabtu, 4 Oktober 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, potensial terperangkap oleh sosok yang sejauh ini dia sanjung-sanjung, Presiden AS, Donald Trump.

khaberni/tangkap layar
BERUBAH-UBAH - Tangkap layar Khaberni, Rabu (5/3/2025) menunjukkan potret Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dengan latar belakang Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sikap Trump yang berubah-ubah dinilai sebagai pondasi rapuh bagi Israel untuk menyandarkan sepenuhnya harapan atas dukungan AS dalam berbagai konflik dan front yang mereka hadapi di kawasan Timur Tengah. 

"Tidak berhenti di situ, Zelensky pun ditanyai pertanyaan-pertanyaan yang mengejek tentang pakaiannya, kemudian ia dihina oleh Trump dan wakilnya, JD Vance, sebelum ia diusir dari Gedung Putih, dan tiba-tiba dikeluarkan dari jamuan makan siang yang dijadwalkan," ulas Barnea.

Berdasarkan dua teori yang diajukannya, analis militer itu mencoba menjelaskan konsekuensi dari posisi Trump terhadap Zelensky, dengan mengatakan, "Bagi sebagian orang, reaksi presiden Ukraina - yang dengan cepat mengeluarkan pernyataan menyanjung Trump dan menyusun rencana gencatan senjata baru - merupakan bukti bahwa semua itu hanyalah taktik negosiasi."

"Namun bagi yang lain, episode itu merupakan tanda jelas bahwa Trump mengkhianati sekutu tradisionalnya, yang menimbulkan kekhawatiran di Eropa dan kegembiraan di Moskow," kata Barnea.

Selama ini, AS dan Eropa, khususnya NATO, dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, hal yang kini penuh keraguan atas metode yang dilakukan Trump dalam memimpin AS.

Guna memperjelas betapa hipokritnya AS di bawah kepemimpinan Trump saat ini, Barnea menunjukkan kalau miliarder Elon Musk -sosok pendukung utama Trump- mengunggah sebuah tweet yang menyerukan pembubaran NATO, dengan bertanya, “Ketika Amerika dan Rusia sepakat, siapa yang butuh NATO?

Barnea yakin bahwa cara Trump memperlakukan Zelensky menyampaikan pesan yang jelas kepada sekutu Washington, bahwa: "Dukungan Amerika tidak terjamin, dan bisa menguap kapan saja."

Baca juga: Di Balik Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Penyelamat

Barnea menjelaskan bahwa perilaku ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan Trump dalam mengelola kebijakan luar negeri AS.

"Karena ia (Trump) berupaya memaksakan dirinya sebagai poros utama dalam menentukan masa depan aliansi internasional," kata Barnea.

PASUKAN ISRAEL - Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Selasa (18/2/2025) menunjukkan pasukan israel berada di pos di Lebanon Selatan pada 15 Februari 2025. Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani pada hari Senin (17/2/2025) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menarik pasukan dari 5 pos di Lebanon Selatan.
PASUKAN ISRAEL - Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Selasa (18/2/2025) menunjukkan pasukan israel berada di pos di Lebanon Selatan pada 15 Februari 2025. Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani pada hari Senin (17/2/2025) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menarik pasukan dari 5 pos di Lebanon Selatan. (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English)

Israel Bagian dari "Koalisi Preman"

Barnea mengadopsi teori kalau Trump berusaha membentuk "koalisi preman' yang mencakup Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, di mana negara-negara adidaya tersebut membagi wilayah pengaruh di dunia menurut persamaan kekuatan dan bukan hukum internasional.

Menurut visi ini, menurut Barnea, “Putin akan mendapatkan Ukraina dan mungkin negara-negara Baltik, presiden Tiongkok akan menginvasi Taiwan, sementara Trump mungkin berusaha menguasai Greenland.”

Ia juga meramalkan kalau Uni Eropa “akan menyusut atau runtuh, dan partai-partai sayap kanan akan mengambil alih Eropa, sehingga memudahkan Trump dan Putin untuk berbagi kendali atasnya, sebuah skenario yang menakutkan bagi negara-negara seperti Jerman dan Prancis yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip tradisional Uni Eropa.”

Barnea yakin kalau Israel dapat dengan mudah berintegrasi ke dalam "dunia baru" ini, dengan mengatakan, "Trump menghormati kekuasaan (kekuatan), yang saat ini berada di tangan Israel, dan menghormati kendali atas wilayah, yang juga dikuasainya. Ia juga membenci nilai-nilai demokrasi tradisional, hak asasi manusia, dan keadilan, yang juga telah menjadi bagian dari pendekatan pemerintah Israel."

Analis militer ini menegaskan bahwa pemerintah Israel bertindak saat ini dengan keberanian yang belum pernah terjadi sebelumnya, melewati batas merah yang berlaku pada masa jabatan presiden Amerika sebelumnya, baik dari Partai Republik maupun Demokrat.

Analisis Barnea tersebut mengindikasikan kalau pemerintah Benjamin Netanyahu saat ini sedang mengeksploitasi dukungan tanpa syarat dari pemerintahan Trump pada tahap ini untuk memaksakan fakta di lapangan, yaitu sebagai berikut:

  • Pelanggaran perjanjian yang disepakati Israel dalam kerangka kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.
  • Memelihara lokasi militer dan keberadaan pasukan IDF di dalam wilayah Suriah dan secara terbuka menyatakan kalau pasukan Israel akan tetap berada di sana selamanya.
  • Israel mengancam akan campur tangan dalam konflik antara rezim Suriah dan komunitas Druze di Jaramana, meskipun kedua pihak menolak intervensi Israel.
  • Mempertahankan posisi militer di Lebanon meskipun ada perjanjian gencatan senjata.
  • Ribuan warga Palestina diusir dari kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, termasuk wilayah dalam "Area A" Otoritas Palestina.
  • Mencegah masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
  • Meninggalkan tahap kedua negosiasi kesepakatan pertukaran tahanan, yang menghasilkan pembebasan 59 tahanan, baik yang hidup maupun yang telah meninggal.

Harus digarisbawahi, rentetan hal-hal di atas berisiko besar terhadap situasi perang menyeluruh di kawasan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved