17 Orang Tewas dalam Konflik di Republik Demokratik Kongo, Militan M23 Bentrok dengan Pemerintah
Kelompok pemberontak M23 telah mendeklarasikan kota penting Goma di bawah kendalinya, yang merupakan pukulan telak bagi tentara Kongo.
TRIBUNNEWS.COM - Pertempuran sengit antara kelompok militan M23 dan pasukan pemerintah Republik Demokratik Kongo (RDC) di kota Goma, wilayah timur RDC, telah menelan banyak korban jiwa.
Rumah sakit kewalahan menangani jumlah korban yang terus bertambah, lapor Al Jazeera.
Pada Senin (27/1/2025), M23, yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didukung oleh Rwanda, memasuki Kota Goma dan mendeklarasikan kota utama tersebut berada di bawah kendali mereka.
Deklarasi ini merupakan pukulan berat bagi tentara Kongo dan peningkatan serius dalam konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Ratusan orang telah tewas dalam konflik ini, sementara jutaan lainnya terpaksa mengungsi dari wilayah tersebut.
Menteri Pembangunan Pedesaan Republik Demokratik Kongo (DRC), Muhindo Nzangi, menyatakan bahwa tentara Kongo menguasai 80 persen wilayah Goma, sementara pasukan Rwanda berada di pinggiran kota atau di seberang perbatasan.
Dalam konferensi pers pada Selasa (28/1/2025), PBB dan lembaga bantuan lainnya melaporkan bahwa rumah sakit di Goma kewalahan menangani ratusan pasien dengan luka tembak, mortir, dan pecahan peluru, sementara banyak mayat tergeletak di jalan.
"Saat ini, ada ratusan orang dirawat di rumah sakit, sebagian besar menderita luka tembak," kata Adelheid Marschang, koordinator tanggap darurat WHO untuk DRC.
Setidaknya 17 orang tewas di Goma pada Senin.

Kantor berita AFP melaporkan, mengutip sumber-sumber rumah sakit, bahwa dokter di kota tersebut merawat 367 orang yang terluka dalam bentrokan tersebut.
Anggota masyarakat sipil dan LSM yang bekerja di Goma menyebutkan bahwa korban tewas mencapai 25 orang, sementara 375 orang lainnya terluka.
Baca juga: Flu Misterius Menyebar di Kongo Hingga Tewaskan Ratusan Orang, Bisa Jadi Pandemi Lanjutan?
Tembakan senjata ringan dan mortir terus terdengar di jalan-jalan pada Selasa, di mana banyak mayat terlihat, kata Jens Laerke, juru bicara kantor kemanusiaan PBB, mengutip laporan dari staf PBB di kota itu.
Siapakah pemberontak M23 dan mengapa terjadi pertempuran di DRC timur?
Berikut penjelasannya, seperti dikutip dari The Guardian.
Apa itu M23?
M23, atau Gerakan 23 Maret, adalah salah satu dari lebih dari 100 kelompok bersenjata yang memerangi pasukan pemerintah Kongo di wilayah timur DRC yang kaya akan mineral.
Kelompok ini berbasis di Provinsi Kivu Utara, yang berbatasan dengan Rwanda dan Uganda, dan memiliki lebih dari 8.000 pejuang, menurut PBB.
Nama kelompok ini diambil dari tanggal penandatanganan kesepakatan antara Kongres Nasional untuk Pertahanan Rakyat (CNDP), kelompok pemberontak yang dipimpin oleh suku Tutsi, dan pemerintah Kongo pada tahun 2009 untuk mengakhiri pemberontakan di wilayah timur DRC.
Mengapa M23 memerangi pasukan Kongo?
M23 dibentuk pada tahun 2012 setelah mantan pasukan CNDP memberontak terhadap pemerintah Kongo, menuduh pemerintah gagal melaksanakan perjanjian tahun 2009 itu.
Perjanjian tersebut di antaranya mencakup integrasi pejuang Tutsi ke dalam tentara, perlindungan kaum minoritas, dan distribusi sumber daya yang adil.
Kelompok ini menyatakan tujuan mereka adalah untuk melindungi kepentingan Tutsi Kongo serta kelompok minoritas lainnya, termasuk dari ancaman kelompok pemberontak Hutu yang melarikan diri ke DRC setelah mengambil bagian dalam genosida tahun 1994 yang menargetkan kaum Tutsi.
Pada tahun 2012, milisi ini memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan di DRC timur, termasuk merebut kota Goma sebelum mundur 10 hari kemudian setelah tercapainya kesepakatan yang ditengahi oleh negara-negara tetangga.
Dalam kebangkitan yang dimulai pada tahun 2022, M23 kembali melancarkan serangan di Kivu Utara terhadap angkatan bersenjata DRC dan misi PBB di negara tersebut.
M23 menguasai Rubaya, kota pertambangan coltan utama, tahun lalu.
Menurut PBB, kelompok ini memperoleh $800.000 per bulan dari pajak atas produksi dan perdagangan mineral tersebut.
Bulan ini, kelompok pemberontak tersebut memperoleh keuntungan teritorial lebih lanjut, merebut kota Katale, Masisi, Minova, dan Sake, serta kini menguasai kota Goma.
Bagaimana Rwanda terlibat dalam konflik di wilayah timur DRC?
DRC, PBB, AS, dan beberapa negara lain menuduh negara tetangga Rwanda mendukung M23, tuduhan yang dibantah oleh Rwanda.
Pada tahun 2022, sebuah laporan dari panel ahli PBB menyatakan bahwa mereka memiliki "bukti kuat" bahwa tentara Rwanda bekerja sama dengan M23.
Pada Juli lalu, panel PBB melaporkan bahwa antara 3.000 hingga 4.000 pasukan pemerintah Rwanda beroperasi dengan M23 di wilayah timur DRC.
Siapa yang membantu pasukan Kongo di DRC timur?
Sekitar 11.000 pasukan penjaga perdamaian saat ini berada di DRC, sebagian besar berada di wilayah timur negara tersebut.
Mereka adalah bagian dari Misi Stabilisasi Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Demokratik Kongo, atau Monusco.
Selain itu, Misi Komunitas Pembangunan Afrika Selatan di Republik Demokratik Kongo (SAMIDRC) juga memiliki pasukan di negara tersebut.
Para pemimpin Afrika dan AS sebelumnya telah berperan sebagai mediator dalam upaya gencatan senjata.
Apa dampak kemanusiaan dari konflik ini?
Kekerasan di Kongo bagian timur memperburuk krisis kemanusiaan di negara tersebut, yang telah mengalami salah satu krisis terburuk di dunia dengan lebih dari 6 juta orang mengungsi.
Provinsi Kivu Selatan dan Kivu Utara memiliki lebih dari 4,6 juta orang yang mengungsi di dalam negeri.
Tahun ini saja, konflik di Kongo bagian timur telah menyebabkan 400.000 orang mengungsi.
Banyak laporan mengenai eksekusi, kekerasan seksual, dan kekejaman lainnya muncul dari pertempuran baru-baru ini.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.