Minggu, 5 Oktober 2025

Konflik Suriah

Suriah Bisa Belajar dari Indonesia Menjadi Negara Demokrasi Bagi Mayoritas Muslim dan Berbagai Suku

Suriah berpeluang terpecah-belah seperti kebanyakan negara yang diterpa gelombang Musim Semi Arab.

Penulis: Hasanudin Aco
AFP/ANGELOS TZORTZINIS
Seorang demonstran memegang bendera oposisi Suriah saat anggota masyarakat Suriah meneriakkan slogan-slogan di alun-alun Syntagma di Athena untuk merayakan berakhirnya rezim diktator Suriah Bashar al-Assad setelah pejuang pemberontak menguasai ibu kota Suriah, Damaskus, pada malam hari, 8 Desember 2024. - Pemberontak yang dipimpin kaum Islamis menggulingkan penguasa lama Suriah, Bashar al-Assad, dalam serangan kilat yang disebut oleh utusan PBB sebagai "momen penting" bagi negara yang dirusak oleh perang saudara. (Photo by Angelos TZORTZINIS / AFP) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Perang saudara di Suriah kembali berkecamuk setelah 14 tahun.

Meski perang yang terjadi antara kelompok pemberontak dan pemerintah tidak terlalu besar dibandingkan 14 tahun lalu namun perang kali ini berhasil menjatuhkan rezim berkuasa.

Presiden Suriah Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia.

Terkait hal itu, Pengamat Timur Tengah Hasibullah Satrawi menilai pemerintah Indonesia bisa memainkan peran diplomatis di Suriah usai tumbangnya rezim Bashar Al-Assad setelah berkuasa selama 24 tahun.

Hasibullah menyebut pemerintah RI dapat menjalin komunikasi dengan pihak-pihak berkepentingan di Suriah untuk membentuk negara demokratis yang damai.

Masa depan Suriah pasca-Assad disinyalir masih penuh ketidakpastian mengingat banyaknya kelompok oposisi yang berkepentingan dan aktor-aktor regional yang terlibat.

Bakal pemerintah Suriah yang baru pun punya PR besar untuk menyatukan kelompok-kelompok pemberontak dari bermacam latar belakang.

"Ini masa-masa rawan bagi Suriah ke depan. Suriah akan mengalami perdebatan internal tentang siapa yang harus memimpin dan dari warna apa? Apakah nasionalisme-sekuler? Apakah Islamis ekstrem atau garis keras? Ataukah warna kesukuan? Kurdi dan sebagainya?" kata Hasibullah, Senin (9/12/2024) dikutip dari Kompas.TV.

Perang saudara Suriah yang berlangsung sejak 2011 melibatkan berbagai kelompok bersenjata.

Setidaknya terdapat tiga kelompok pemberontak terbesar yang berpeluang berebut kekuasaan di Suriah usai tumbangnya Assad.

Kelompok itu adalah Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) yang memimpin operasi merebut Damaskus, Syrian Democratic Forces (SDF) yang didukung AS, dan Syrian National Army (SNA) yang didukung Turki.

Hasibullah Satrawi menyampaikan, Suriah berpeluang terpecah-belah seperti kebanyakan negara yang diterpa gelombang Musim Semi Arab.

Dia berharap Suriah dapat menjadi negara yang relatif stabil seperti Tunisia usai gelombang demonstrasi.

Menurutnya, terdapat celah sektarianisme yang berpotensi berkembang menjadi konflik internal.

Pihak yang berkuasa secara de facto pun berpotensi menunjukkan ambisi menjadi kelompok dominan dan memperpanjang perang saudara.

Akan tetapi, usai jatuhnya Damaskus, Hasibullah menyebut Suriah cukup damai dan menunjukkan tanda-tanda positif.

Pihak HTS sendiri mengaku hendak mewujudkan Suriah yang bebas dan bersatu usai menumbangkan rezim Assad.

Selama masa rawan tersebut, Hasibullah menyebut Indonesia dapat mengambil peran untuk perdamaian Suriah.

Indonesia disebutnya dapat menjadi teladan berdemokrasi sebagai negara berpopulasi mayoritas muslim dan terdiri dari beragam suku.

"Indonesia bisa jadi contoh, bisa jadi model bagaimana mengelola pemerintahan demokratis, terutama bagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Suriah," katanya.

Selain itu, Hasibullah menyebut pemerintah RI sebaiknya mempertimbangkan evakuasi WNI dari Suriah.

Pasalnya, hubungan antarpihak yang berkepentingan berpotensi memanas dalam pencarian bentuk negara Suriah pasca-Assad.

Hasibullah menyampaikan bahwa Suriah membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun menata konsep kenegaraan yang diinginkan usai menumbangkan diktator.

"Kalau melihat perkembangan sekarang ini, kalau ada evakuasi bisa kita ambil, karena perdebatan atau malah peperangan yang sesungguhnya bisa terjadi setelah (Assad) lengser," kata Hasibullah.

Sikap Pemerintah Indonesia

Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, Anis Matta mengatakan Indonesia terus memantau perkembangan situasi di Suriah yang tengah berkonflik.

Anis menyerukan perlu adanya konsensus politik nasional dari seluruh pihak di Suriah, untuk memulihkan ekonomi dan pembangunan pada tahap selanjutnya.

"Konsensus politik nasional, transisi demokratis yang damai, serta rekonstruksi/pemulihan ekonomi dan pembangunan sebagai prioritas Suriah di tahap selanjutnya," kata Anis dalam keterangannya, Selasa (10/12/2024).

Anis menegaskan krisis di Suriah hanya bisa diselesaikan lewat proses transisi yang komprehensif, demokratis dan damai dengan mengutamakan kepentingan dan keselamatan rakyat Suriah.

Ia juga mengingatkan pentingnya penyelesaian krisis di Suriah untuk menjaga kedaulatan, kemerdekaan dan integritas teritorial Suriah

Pemerintah Indonesia, kata Anis, berharap rakyat Suriah bisa memulai kehidupan baru yang lebih baik setelah krisis ini berlalu.

Para pihak juga diharapkan dapat menjaga keamanan dan keselamatan rakyat Suriah.

"Indonesia menghormati keutuhan wilayah Suriah dan mengharapkan rakyat Suriah dapat memulai kehidupan baru yang lebih baik," kata Anis.

Sebagai informasi Bashar al-Assad telah berkuasa di Suriah sejak 24 tahun lalu.

Rezim ini memimpin Suriah sejak tahun 2000, saat ia menggantikan ayahnya Hafiz al-Assad yang wafat. 

Konflik yang terjadi di Suriah hari ini membuat Bashar al-Assad menyelamatkan diri ke Rusia setelah rezimnya digulingkan pihak oposisi.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved