'Hati saya benar-benar hancur' - Atlet basket berhijab Prancis dilarang bertanding dalam Olimpiade Paris
Kebijakan Prancis melarang hijab untuk delegasi nasionalnya di Olimpiade telah berdampak bagi atlet-atlet perempuan Muslim. Mereka…
"Kata 'pilihan' membuat situasinya seolah setara atau adil, padahal tidak. Mereka tidak ingin kami memilih, mereka hanya ingin kami melupakan identitas dan keyakinan kami, jadi itu bukan pilihan."
"Saya tidak akan pernah mengorbankan keyakinan atau nilai-nilai saya, terutama karena saya tahu bahwa ini adalah aturan yang tidak adil," sambungnya.
Pada September tahun lalu, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, mengonfirmasi bahwa hijab dilarang untuk semua tim Prancis di Olimpiade, di bawah prinsip-prinsip sekularisme Prancis, yakni laicite.
Kebijakan tersebut dikritik oleh Kantor HAM PBB dan Komite Olimpiade Internasional (IOC). IOC kemudian menyatakan bahwa hijab diperbolehkan di dalam kampung atlet.
Pada April, Ketua Olimpiade Paris Tony Estanguet mengatakan kepada Editor Olahraga BBC, Dan Roan, bahwa "terserah pada negara, delegasi dan Komite Olimpiade Nasional untuk memutuskan bagi para atlet jika mereka ingin aturan lain diberlakukan atau tidak".
Dia juga menegaskan bahwa "tidak ada yang melanggar dari delegasi Prancis. Ini adalah keputusan mereka".
Laicite sering diterjemahkan sebagai secularism (sekularisme) dalam bahasa Inggris.
Laicite tidak mengharuskan masyarakat Prancis untuk meninggalkan simbol-simbol keagamaan, tetapi sebaliknya, negara dan lembaga-lembaga publik harus bebas dari simbol-simbol tersebut.
Ini adalah identitas utama Prancis yang berasal dari hukum tahun 1905 ketika gereja dipisahkan dengan negara.
Namun pegiat HAM mengkritik cara-cara penafsiran konsep laicite di Prancis saat ini.
Ba, yang memiliki spesialisasi dalam bidang HAM dan hukum kemanusiaan, mengatakan bahwa laicite "sangat disalahpahami" dan "tidak berlaku di atas HAM".
"Konsep ini telah menjadi alat untuk menghapus semua perbedaan, khususnya identitas Muslim, dan lebih spesifik lagi perempuan yang mengenakan jilbab," kata Ba.
"Beberapa dari kami menjadi aktivis karena aturan ini, tapi yang ingin saya tekankan adalah kami tidak diberi solusi, terutama perempuan Muslim muda karena mereka tidak tahu alasan mereka dikucilkan."
"Mereka tidak punya alternatif lain sehingga beberapa dari mereka benar-benar berhenti berolahraga," ujar dia.
"Ketika sebuah aturan menargetkan kelompok minoritas dan menciptakan diskriminasi serta melanggar hak-hak orang, maka hal itu harus menjadi perhatian semua orang. Jika hari ini targetnya adalah kami, besok bisa saja Anda."
"Kami tumbuh tanpa panutan, dan kami tidak akan pernah memiliki panutan seorang atlet berhijab Prancis yang memiliki tim nasional kalau aturan ini tetap berlaku," kata Ba.
'Pertandingan ini semestinya menjadi puncak karir saya'
Konate masih menimbang-nimbang apakah dia akan meneruskan karir basketnya. Namun dalam pertandingan-pertandingan Olimpiade, dia tidak akan pernah bisa menebak apa yang akan terjadi.
"Saya berusaha menerima apa yang terjadi," kata dia.
"Saya benar-benar merasa memiliki karir yang luar biasa, terutama dengan bermain bersama tim nasional Prancis. Saya pikir itu adalah impian setiap atlet, untuk mewakili negara mereka," ujar Konate.
"Pertandingan-pertandingan ini semestinya menjadi puncak karir saya."
Dia juga bergabung dengan 'Basket Pour Toutes' untuk mengadvokasi atlet berhijab secara terbuka. Namun perjuangan itu dia jalani dengan perasaan campur aduk.
"Bagi saya, ini konyol. Semestinya saya tidak perlu melakukan ini," tutur Konate.
"Sangat memilukan bagi saya harus memperjuangkan hal ini. Saya akan terus melakukannya, tapi rasanya menyedihkan karena ada isu lain yang lebih penting yang seharusnya menjadi perhatian kita ketimbang perempuan Muslim yang mengenakan hijab di lapangan."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.