Cuti melahirkan selama enam bulan, menguntungkan atau merugikan ibu pekerja di Indonesia?
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengatakan tak semua perusahaan bakal sanggup memberikan…
"Dalam kondisi sekarang saja faktanya di lapangan cuti melahirkan yang tiga bulan susah diakses oleh buruh perempuan. Sekarang cuti enam bulan, dalam pandangan saya sulit direalisasikan," ungkap Jumisih kepada BBC News Indonesia, Rabu (05/06).
Dalam beberapa kasus yang dilaporkan buruh garmen kepada FSBPI, kata Jumisih, buruh perempuan yang berstatus kontrak diminta mengundurkan diri ketika hendak mengajukan cuti melahirkan.
Iming-imingnya, begitu selesai cuti si buruh perempuan tersebut akan dipanggil bekerja kembali.
Namun yang terjadi, saat kembali masuk bekerja diberikan kontrak baru. Tujuannya tak lain agar si pengusaha tak mengeluarkan uang atau membayar upah cuti melahirkan selama tiga bulan penuh.
"Bahasanya lembut, supaya bisa mengurus anak dengan baik, nanti melamar lagi setelah siap kembali bekerja. Itu kata-kata manis, tapi jebakan."
Pada kasus lain, kata Jumisih, buruh perempuan yang berstatus kontrak ada yang langsung diberhentikan kala mengajukan cuti melahirkan.
Kalaupun tidak dipecat, biasanya perusahaan akan memaksa pekerjanya membuat surat pernyataan yang berisi bahwa dia bersedia kembali bekerja atas kemauan sendiri.
"Jadi ada praktik di mana belum tiga bulan atau 1,5 bulan cuti, si buruh sudah masuk kerja. Caranya membuat kesepakatan bahwa ini kemauan si pekerja, padahal di baliknya ada intervensi pengusaha demi menghindari tuntutan hukum."
Itu mengapa Jumisih mempertanyakan implementasi aturan tersebut di tengah lemahnya pengawasan dinas ketenagakerjaan.
Apalagi setelah UU Cipta Kerja lahir, hubungan atau status kerja menjadi tidak pasti dan sangat fleksibel, katanya.
Jangan sampai buruh perempuan berada dalam posisi terjepit yang akhirnya tidak berani mengambil hak cuti melahirkan seperti yang diatur dalam UU KIA lantaran ada risiko diberhentikan.
"Setelah UU Cipta Kerja makin banyak buruh yang jauh dari hak mendapatkan cuti melahirkan, keguguran, atau haid."
"Makanya ini butuh kerja sama banyak pihak, pengusaha, buruh, dan dinas tenaga kerja karena mereka yang melakukan pengawasan."
"Selama ini pengawasan enggak berjalan. Mereka tahu ada pelanggaran, tapi tidak bisa berbuat apa-apa alasannya klasik, jumlah mereka sedikit untuk mengawasi ribuan perusahaan."P
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, juga sepemikiran.
Selama tidak ada sanksi bagi pengusaha yang melanggar, maka perusahaan akan mencari seribu satu alasan agar tidak membayar penuh hak cuti melahirkan buruh perempuan.
Lebih dari itu, yang dia takutkan pengusaha bakal mempersempit lowongan pekerjaan untuk perempuan.
"Bagus sih [cuti enam bulan] untuk perempuan, tapi jangan sampai membuat hadirnya dampak yang lain dengan lamanya cuti," ucapnya.
Apakah pengusaha sanggup menjalankan UU KIA?
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, nampak tak terlalu bahagia menyambut lahirnya undang-undang teranyar ini.
Utamanya menyangkut cuti melahirkan hingga enam bulan.
Ia bilang, ketentuan soal cuti melahirkan selama tiga bulan sebetulnya sudah diatur di UU Ketenagakerjaan dan dianggap cukup ideal.
Kalaupun ada cuti tambahan tiga bulan lagi, selama ini dimasukkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) masing-masing perusahaan.
Sebab tak semua perusahaan, klaimnya, mampu memberikan cuti hingga enam bulan.
"Buat kami UU ini ya akan jadi masalah," tutur Bob kepada BBC News Indonesia, Kamis (06/06).
Kini, dengan total enam bulan cuti melahirkan ditetapkan melalui UU maka konsekuensinya seluruh perusahaan wajib menerapkan hal tersebut.
Tidak lagi seperti sebelumnya yang hanya ada, jika tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Dan ini, katanya, memberatkan. Khususnya untuk perusahaan kecil.
"Cuti melahirkan itu hak yang melekat pada karyawan sudah diatur di UU Ketenagakerjaan, tapi harus dicari solusi bagi perusahaan kecil yang kemampuannya terbatas seperti konveksi atau perusahaan yang karyawannya di bawah seratus," tutur Bob kepada BBC News Indonesia, Kamis (06/06).
"Jangan sampai UU yang melindungi perempuan berdampak negatif, perusahaan malah enggak mau rekrut tenaga kerja perempuan karena kalau cuti lama banget. Jadi jangan sampai terjadi."
Karenanya, Apindo akan berdiskusi dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk membahas peraturan pemerintah dari UU KIA agar tidak tumpang tindih dengan UU Ketenagakerjaan.
"UU mana yang dipakai? Kami harus berdiskusi dengan Kemnaker."
"Pemerintah kalau memang mau kasih bantuan untuk ibu hamil dan anak, kenapa enggak dalam bentuk fiskal aja sih? Jangan pemerintah beri bantuan, perusahaan yang jalanin."
"Misalnya alokasikan dana yang disalurkan lewat puskesmas. Itu lebih efektif."
"Kemarin sudah ada Tapera, sekarang cuti tambahan, aduh, gimana ini."
Apa tanggapan pemerintah?
Sejumlah pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan belum memberikan respons menyusul pengesahan UU KIA.
Namun, penjabat Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Indra Gunawan, mengungkapkan Kemnaker selama ini ikut dalam pembahasan RUU KIA hingga disahkan menjadi undang-undang.
Dalam pembuatan aturan turunannya, dia bilang sudah berdiskusi dengan Kemnaker – terutama menyangkut cuti melahirkan bagi ibu pekerja.
"Kami sudah diskusikan juga oleh Kemnaker karena nanti mereka yang banyak regulasinya," imbuhnya, Rabu (05/06).
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka, meminta pengusaha mematuhi UU KIA soal cuti melahirkan selama enam bulan.
Karena bagaimanapun beleid ini ingin menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pekerja.
Dia juga yakin UU KIA tidak akan memberatkan pengusaha, apalagi sampai menurunkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan.
Sebab selama ini sudah ada beberapa perusahaan yang menerapkan cuti hingga enam bulan.
"Enggak lah, itu kan kekhawatiran aja, bukan kenyataan. Saya juga enggak mau pekerja perempuan diintimidasi ketika memperjuangkan haknya menjadi lebih baik."
"UU KIA ini sinkron dengan UU Ketenagakerjaan, jadi enggak ada yang baru. Jadi kenapa kita lebih pusing sama pengusaha daripada buruhnya? Harusnya kita memperjuangkan hak pekerjanya."
"Investasi harusnya lanjut terus, kok kayak takut sama pengusaha, enggak percaya diri sama hak kita sendiri."
"Negara lain juga jalan investasinya dengan standar [ketenagakerjaan] lebih tinggi."
Bagaimana dengan cuti suami?
Selain mengatur cuti melahirkan bagi ibu pekerja. UU KIA juga menjamin suami mendampingi istrinya.
Pasal 6 ayat 2 menyebutkan, suami berhak mendapatkan hak cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama dua hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan; atau saat mengalami keguguran selama dua hari.
Selain cuti mendampingi istri melahirkan, suami juga diberikan waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan anak dengan alasan istri yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan komplikasi pascapersalinan atau keguguran.
Kemudian anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.
Lalu istri yang melahirkan meninggal dunia, dan/atau anak yang dilahirkan meninggal dunia.
Selama melaksanakan hak cuti pendampingan istri, suami berkewajiban menjaga kesehatan istri dan anak, memberikan gizi yang cukup dan seimbang bagi istri-anak, mendukung istri dalam memberikan air susu ibu eksklusif sejak anak berusia enam bulan, serta mendampingi istri dan anak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan juga gizi sesuai dengan standar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.