Kamis, 2 Oktober 2025

Mungkinkah beras singkong jadi solusi krisis pangan?

Kala Indonesia berulang kali mengalami kelangkaan beras, masyarakat adat Cireundeu di Jawa Barat tak mengalami dampak sebab sejak…

BBC Indonesia
Mungkinkah beras singkong jadi solusi krisis pangan? 

Dia melanjutkan, pilihan yang dimiliki saat ini hanya ada dua, “melangkah ke depan dengan bahaya atau mundur ke belakang dengan aman”.

Filosofi ketuk tular ini juga menyasar generasi muda masyarakat adat Cireundeu, seperti dituturkan oleh tokoh pemuda Cireundeu, Triana Santika, yang mengaku khawatir tradisi rasi perlahan-lahan akan terkikis karena tidak dilestarikan oleh generasi penerusnya.

“Para sepuh sudah bilang bahwa kudu diteraskan (harus diteruskan) kebiasaan ini karena zaman ke depan semakin susah, semakin berat,” ucap Triana.

Keresahan yang sama diungkapkan oleh petani singkong Cireundeu, Entis Sutisna, yang menekankan pentingnya regenerasi petani.

Namun, ada kekhawatiran yang lebih besar terselip dalam benak masyarakat Cireundeu, yakni tergusurnya lahan mereka akibat pembangunan di sekitar kampung mereka yang berlangsung cukup masif.

Menuntut hak ulayat

Mulut Entis Sutisna komat kamit melafalkan mipit amit ngala menta, jampi yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa, memohon izin menanam singkong di kebunnya yang berada di kaki Gunung Gajah Langu. Ritual tersebut telah berlangsung secara turun temurun.

“Kita cuma menancapkan di tanah dan kita hanya menanamnya, Tuhan yang menciptakan dan Tuhan yang menjadikan, menumbuhkan, membaguskan. Kita cuma menanam dan memupuknya supaya baik, tapi hasilnya diserahkan ke Tuhan,” kata Entis.

Lepas sekolah menengah pertama, Entis memilih menjadi petani singkong, profesi yang diturunkan dari nenek moyangnya. Pria berusia 46 tahun itu menggarap lahan seluas 1.400 meter persegi yang sebagian besar ditanami singkong jenis garnawis.

Hasil panen kebun Entis dipakai untuk memenuhi kebutuhan rasi keluarga dan masyarakat Cireundeu yang tidak pernah menggunakan singkong dari luar untuk membuat rasi. Hanya saja, Entis merasa waswas lahannya akan tergusur pembangunan di sekitar Kampung Cireundeu.

“Kekhawatiran pasti ada karena sekarang wilayah sudah alih fungsi, tapi saya tetap bertekad terus melanjutkan kebiasaan menanam singkong sampai kapan pun,” tegasnya.

Diakui tokoh pemuda Cireundeu, Triana Santika, lahan di sekitar Kampung Cireundeu kini mulai terancam pembangunan permukiman penduduk. Di kampung tetangga Cibogo, misalnya, telah dibangun sebuah kompleks perumahan. Demikian halnya di Kampung Cibungur, wilayag Bandung Barat yang berbatasan dengan Cireundeu.

Untuk menekan maraknya ahli fungsi lahan di sekitar kampung Cireundeu, Triana telah mengajukan permohonan diterbitkannya peraturan tentang hak ulayat masyarakat adat Cireundeu ke Pemerintah Kota Cimahi, sejak tahun lalu.

“Tapi sampai sekarang masih belum ada angin segar,” kata pria 40 tahun itu.

Ditemui secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kota Cimahi, Achmad Nuryana, mengatakan pihaknya masih menyusun peraturan tersebut, seraya menjelaskan bahwa kawasan Kampung Wisata Cireundeu telah dilindungi oleh Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menetapkan Kampung Cireundeu sebagai kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

“Jadi di RTRW kita itu yang termasuk wilayah Cimahi itu menjadi sebuah kawasan hijau yang tidak boleh dibangun, sebagai RTH dan diharapkan RTH ini digunakan untuk menanam singkong untuk bisa dipertahankan,” papar Achmad.

“Kalaupun nanti ada penguatan dengan perwal (peraturan wali kota) ya tentu saja nanti kita akan sarankan kepada pihak berwenang di pemkot (pemerintah kota) ini biar lebih terproteksi kawasan-kawasan yang memang menjadi lahan tanaman singkong,” ujarnya kemudian.

Kampung Adat Cireundeu memiliki luas lahan 64 hektar, terdiri 60 hektar lahan pertanian dan empat hektar permukiman.

Kawasan Kampung Cireundeu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Hutan Larangan – hutan yang terlarang dimasuki, ditebang pepohonannya, dan diambil hasil buminya – demi menjaga sumber air; Hutan Tutupan – kawasan reboisasi yang boleh ditebang pohonnya, tapi wajib ditanami kembali; serta Hutan Baladahan yang boleh ditanami atau dijadikan lahan perkebunan.

Solusi krisis pangan?

Organisasi pangan dunia (FAO) memperkirakan dunia akan menghadapi ancaman krisis pangan pada 2050 sebagai dampak perubahan iklim yang mempengaruhi hasil panen. Prediksi tersebut dikuatkan hasil pemantauan World Meteorological Organization pada akhir 2022 yang melaporkan kencangnya laju perubahan iklim.

Pada tahun yang sama, Presiden Joko Widodo telah menyerukan diversifikasi pangan agar masyarakat tidak tergantung pada beras untuk menghadapi krisis pangan. Lantas, apakah rasi memenuhi syarat sebagai pengganti beras?

Pakar pertanian Universitas Padjadjaran di Bandung, Adi Nugraha, memaparkan World Bank menetapkan empat komponen utama terkait isu ketahanan pangan, yakni ketersediaan, akses secara fisikal atau ekonomi, kecukupan nutrisi dan gizi, serta stabilitas produksi.

“Jadi, kalau beras singkong, menurut saya, secara konsep ketahanan pangan sangat memenuhi untuk dijadikan alternatif atau sumber karbohidrat alternatif bagi masyarakat Indonesia,” ujar Adi.

Kendati begitu, Adi berpendapat bahwa rasi sulit menggantikan beras sebagai makanan pokok. Sebab, menurutnya, peralihan itu tidak bisa dilakukan secara instan, tapi membutuhkan proses yang relatif lama, seperti yang dialami warga Cireundeu.

“Pasokan mereka atau akses mereka terhadap beras terputus. Waktu itu karena situasi perang pada saat zaman penjajahan Belanda sehingga mereka terpaksa berinovasi mencari alternatif pangan selain beras. Terciptalah beras singkong. Mereka mulai membudidayakan dan mengkonsumsi singkong.”

“Tapi mereka juga kan berproses. Itu juga berat bagi mereka waktu itu, sehingga harus membuat bagaimana biar enak mengonsumsi singkong, dan dibuatlah dalam bentuk beras,” papar Adi.

Bicara soal ancaman krisis pangan, Adi bilang ada solusi yang lebih baik dibanding diversifikasi pangan, yaitu mengurangi konsumsi beras atau karbohidrat.

Apalagi, sebagai negara pengonsumsi beras terbesar di Asia Tenggara dan salah satu terbesar di dunia, sekitar 128 kilogram per kapita, Indonesia menghadapi ancaman penyakit diabetes.

“Inti dari diversifikasi pangan itu kan ke pengurangan konsumsi beras. Artinya, tidak hanya diversifikasi dalam artian mencari alternatif sumber karbohidrat, tapi juga meragamkan piring kita.”

“Karbohidratnya tidak bergantung hanya pada nasi atau pati, tapi beragam saja dan nasinya dikurangi. Jadi satunya, diversifikasi karbohidrat, yang satunya lagi diversifikasi menunya,” jelas Adi yang mengambil spesialisasi Sosiologi dan Transformasi Pembangunan ini.

Senada, dokter spesialis gizi klinik, Gaga Irawan Nugraha menegaskan yang terpenting dalam pemenuhan kebutuhan gizi adalah keragaman nutrisi.

“Saya sangat setuju kita harus melakukan diversifikasi pangan. Jangan hanya tergantung beras, mungkin bisa singkong, jagung, kentang, sorgum. Tetapi yang jadi masalah jangan hanya itu,” kata Gaga.

“Setiap makan kita butuh protein hewani, [protein] nabati dan sayuran, dan juga harus ada buah-buahan untuk melengkapi vitamin mineral dan serat larut airnya.”

Diakui Gaga, rasi atau singkong memiliki beberapa keunggulan dibanding nasi. Per 100 gram singkong mengandung lebih banyak vitamin C, Vitamin A, asam folat, kalium, dan serat daripada nasi.

Rasi dan nasi memiliki kandungan zat besi, sodium, dan zinc yang hampir sama. Akan tetapi, dibanding nasi, singkong lebih banyak mengandung karbohidrat dan lebih sedikit protein.

Singkong juga mengandung lebih banyak serat sehingga memiliki indeks glikemik – nilai yang menunjukkan seberapa cepat bahan makanan meningkatkan gula darah – lebih rendah dibanding nasi.

“Tapi saya enggak melarang nasi juga buat yang diabetes, yang penting makannya harus ada seratnya dari sayur,” ungkap dosen Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Kedokteran Dasar Universitas Padjadjaran tersebut.

Dijelaskan Gaga, ada pangan alternatif yang lebih baik ketimbang singkong dan beras, yakni sorgum yang penanamannya membutuhkan air lebih sedikit ketimbang beras, namun memiliki kandungan protein yang tinggi.

“Proteinnya tinggi sekali, per 100 gram bisa sampai delapan gram, sangat baik untuk pertumbuhan anak. Hanya yang jadi masalah sorgum itu pengolahannya belum bisa ditanak seperti beras.”

Kembali ke rasi dan nasi, Gaga menegaskan keduanya berguna untuk menunjang pertumbuhan dan mencegah stunting pada anak, serta memperlambat peningkatan gula darah bagi pengidap diabetes, selama dikonsumsi dalam komposisi gizi yang layak.

Reportase oleh wartawan di Bandung, Yuli Saputra.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved