Beli sepatu kena bea masuk Rp31 juta, terima bantuan alat belajar tunanetra ditagih Rp361 juta – Bagaimana penjelasan Menkeu Sri Mulyani?
Sejumlah warganet mengeluh karena dikenakan bea masuk senilai puluhan juta ketika berbelanja online dari luar negeri. Kasus ini menuai…
Di sisi lain, Direktur Jenderal Bea Cukai, Askolani, mengatakan bahwa sanksi tersebut telah sesuai aturan.
Regulasi yang ditegakkan, kata dia, bertujuan "membuat efek jera untuk menyelamatkan penerimaan negara dan melindungi industri di dalam negeri".
"Itu bisa merugikan negara kalau nilai barang yang disampaikan tidak sesuai dengan harga barang sebenarnya," kata Askolani kepada wartawan pada Jumat (26/04).
Sudah tepatkah pengenaan bea masuk dan sanksi administratif tersebut?
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan Bea Cukai sudah bertindak sesuai regulasi yang berlaku dalam kasus belanja online sepatu dari Jerman.
Sejauh ini, Fajry mengatakan aturan yang berlaku pun tidak mewajibkan petugas mengonfirmasi kepada importir sebelum menentukan nilai kepabeanannya.
Ini akhirnya membuat beberapa importir kaget oleh tagihan yang mereka terima. Sementara dari sisi masyarakat, ada hal-hal yang patut dipertimbangkan oleh Bea Cukai sebelum menetapkan nilainya.
"Publik berhak mendorong pemerintah merevisi regulasi agar konfirmasi tersebut wajib dilakukan agar kejadian seperti ini tidak terulang. Masyarakat atau importir berhak memberikan keterangan dari sisi mereka," kata Fajry.
Sedangkan pada kasus bantuan alat belajar dari Korea Selatan, Fajry mengaku belum mengetahui secara pasti duduk perkaranya.
Namun apabila mengacu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun Tahun 2012, hibah peralatan belajar untuk lembaga pengajaran semestinya bisa bebas bea masuk.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, memahami polemik yang bergulir di masyarakat.
Polemik ini, kata Roy, menggambarkan masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal Bea Cukai karena rekam jejak institusi itu sendiri selama ini.
Misalnya gaya hidup mewah pegawainya yang sempat disorot pada tahun lalu.
"Bea Cukai selama ini tidak dipercaya karena praktik yang selama ini mereka lakukan juga. Dalam kondisi itu, tidak mudah menegakkan aturan," kata Roy kepada BBC News Indonesia.
Bagaimana aturan belanja online dari luar negeri?
Belanja online dari lokapasar di luar negeri yang dikirimkan melalui kargo udara maupun laut dianggap sebagai impor barang menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.
Nilai bea masuk untuk barang belanjaan tersebut bergantung pada jenis barangnya. Untuk produk selain tekstil, tas dan alas kaki dengan nilai US$3 hingga US$1.500 akan dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%.
Sedangkan untuk produk tekstil, tas dan alas kaki besaran bea masuknya berbeda-beda, tergantung pada Kode HS setiap barang.
Untuk sepatu yang dibeli oleh Radhika misalnya, bea masuknya dikenakan sebesar 30%.
Dalam hal ini, importir diminta untuk menginformasikan secara jujur nilai barang yang diimpor.
Namun menurut Prianto Budi dari Tax Research Indonesia (TRI) ada banyak kasus di mana nilai barang yang diklaim tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Hanya saja dalam praktiknya, Prianto mengatakan kerap ditemukan praktik "under invoicing" yang dia sebut sebagai "musuh laten bea cukai".
‘Under-invoicing’ adalah praktik yang dilakukan importir ketika mendeklarasikan bahwa harga barang yang diimpor lebih rendah dari harga sebenarnya.
Dengan cara itu, maka harga bea masuk dan pajak impornya pun menjadi lebih rendah dari semestinya.
Praktik ini tidak cuma dilakukan oleh importir skala besar, namun juga oleh importir individu yang berbelanja daring atau membawa barang dari luar negeri.
Implikasi dari praktik ini, kata Prianto, adalah berkurangnya penerimaan negara dari bea masuk.
Menurut Prianto, Bea Cukai biasanya memiliki basis data terkait harga barang yang biasanya diimpor untuk memastikan kesesuaian laporan tersebut. Atau bisa juga Bea Cukai mengecek harga dari barang tersebut.
Lalu apa sanksinya? Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019, Bea Cukai menerapkan denda berjenjang untuk importir yang kurang bayar. Besaran sanksinya mulai dari 100% hingga 1000% tergantung kekurangan pembayaran bea masuk.
Sanksi itulah yang dikenakan kepada Radhika.
Prianto mengatakan pelaku dalam kasus ini bisa siapa saja, entah itu pembeli selaku importir atau penjual. Namun di dalam aturan yang berlaku, importir lah yang dipandang bertanggung jawab.
“Begitu masuk ke custom clearance itu tetap tanggung jawab importir sehingga pada akhirnya ditagihkan ke importir,” kata Prianto.
Dia membenarkan bahwa memang ada celah-celah dalam aturan seperti ini yang memicu keberatan dari importir.
Bagaimana jika mendapat hibah?
Secara umum, hibah atau hadiah untuk keperluan pribadi tetap dikenakan bea masuk.
Namun Undang-Undang 17 Tahun 2006 sebenarnya menjamin bebas bea masuk untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam.
Dalam peraturan turunannya pun secara jelas disebutkan bahwa peralatan belajar mengajar untuk lembaga pengajaran termasuk yang dibebaskan bea masuk.
Itu artinya, alat belajar tunanetra yang dihibahkan kepada SLB-A Pembina Tingkat Nasional tidak semestinya dikenakan bea masuk, menurut Fajry.
Proses ruwet saat masyarakat keberatan
Dalam pengenaan bea masuk, Prianto Budi dari TRI mengatakan masyarakat dapat mengajukan keberatan, hanya saja prosesnya tidak mudah.
Keberatan dapat disampaikan dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penetapan. Hanya saja, importir harus menyerahkan jaminan sebesar denda yang ditetapkan.
“Importir tetap bayar dulu. Atau kalau tidak bayar dulu harus ada jaminan. Kalau ternyata jaminannya benar, langsung cair,” kata Prianto.
Apabila masih keberatan, importir dapat mengajukan banding melalui pengadilan pajak.
Proses yang rumit itu menjadi salah satu yang membuat banyak importir individu akhirnya enggan mengajukan keberatan.
“Ibaratnya, kasusnya ayam tenaganya kuda. Tidak sebanding,” kata dia.
Terkait proses ini, Fajry Akbar dari CITA mengatakan masyarakat dapat menuntut agar pemerintah merevisi regulasi yang ada, terutama terkait upaya konfirmasi dalam situasi tertentu.
"Jika ada ketentuan yang dirasa memberatkan masyarakat maka publik berhak untuk menuntut revisi ketentuan tersebut, bukan memprotes sisi penegakan hukumnya," kata Fajry.
Sejauh ini, peraturan yang ada tidak memuat kewajiban untuk mengonfirmasi.
Namun dia menekankan bahwa hal itu perlu dikaji lebih lanjut, terutama terkait dampaknya terhadap beban administrasi di Bea Cukai.
Kurang sosialisasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, mengatakan kecaman yang muncul di media sosial terhadap Bea Cukai menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
Sehingga, ketika Bea Cukai mencoba menegakkan aturan pun justru memicu kecaman.
Itu dipicu oleh rekam jejak kasus-kasus di Bea Cukai sendiri yang membuat masyarakat meragukan penegakan aturannya.
Dia mencontohkan ketika mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkap skandal emas senilai Rp189 triliun di Bea Cukai.
Termasuk atas terungkapnya kasus pada 2019 lalu ketika CEO Garuda Indonesia diketahui menyelundupkan Harley dan sepeda Brompton.
“Itu lagi-lagi membuat trust masyarakat ke lembaga pemungut atau cukai jadi buruk, akhirnya ketika mereka menegakkan hukum, prosesnya menjadi tidak mudah,” kata Roy.
Roy juga menilai bahwa polemik ini menunjukkan lemahnya sosialisasi pemerintah terhadap aturan mengenai bea masuk belanja daring.
“Sosialisasinya harus cukup masif, dalam arti menjangkau masyarakat yang berpotensi terdampak oleh peraturan-peraturan itu,” kata dia.
Di sisi lain, Roy juga mengingatkan agar masyarakat taat dan jujur terhadap aturan tersebut untuk menghindari risiko terkena denda.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.