Pemilu Parlemen Korea Selatan: Presiden Yoon Masih Akan Tetap Jadi "Bebek Lumpuh"?
Jika Partai Kekuatan Rakyat yang dipimpinnya gagal meraup suara mayoritas dalam pemilu tanggal 10 April, kewenangan presiden dari…
Pemulihan hubungan dengan Jepang melalui pembentukan lembaga pendanaan sendiri untuk kompensasi kerja paksa pada masa kolonial Jepang mendapat kritikan tajam.
Demikian halnya dengan persetujuan tidak langsungnya atas pembuangan air tritium dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima ke Samudra Pasifik.
Kantor Yayasan Konrad Adenauer di Korea Selatan menulis dalam sebuah analisis bahwa kinerja pemerintahan Yoon lebih lemah di mata para pemilih dalam hal kebijakan dalam negeri, yang sangat penting bagi pemilu.
Kerentanan masalah dalam negeri di bawah pemerintahan Yoon termasuk tuduhan korupsi, meningkatnya pengaruh perusahaan raksasa seperti Samsung, harga pangan yang tinggi, kekurangan perumahan, diskriminasi terhadap perempuan dan tingkat kelahiran yang rendah.
Baik pemerintah maupun partai oposisi berjanji untuk mengatasi masalah ini dengan menambah paket bantuan pemerintah.
Formasi baru partai-partai kecil
Kebuntuan di parlemen mengakibatkan pemerintahan Yoon dan oposisi Partai Demokrat Korea menghadapi tentangan luas dari warga. Pada saat yang bersamaan, terjadi perselisihan internal, pengunduran diri, dan pendirian partai baru.
Strategi partai-partai baru adalah memanfaatkan sistem perwakilan proporsional campuran, di mana partai-partai kecil juga dapat memenangkan kursi.
Pada bulan Januari, mantan pemimpin Partai Kekuatan Rakyat Lee Jun-seok meluncurkan Partai Reformasi Baru untuk memrotes lingkaran kepemimpinan partai dalam fraksi yang mendukung Yoon.
Jajak pendapat pemilu masih suram
Seminggu sebelum pemilu, DPK memimpin dengan 43 persen suara dalam jajak pendapat, mengungguli PPP dengan 35 persen, demikian menurut jajak pendapat di RealMeter.
Menurut jajak pendapat lain yang dilakukan Gallup Korea, 37 persen responden mendukung PPP dan 29 persen mendukung DPK. Dalam survei Gallup, Partai Inovasi Nasional pimpinan Cho Kuk menduduki peringkat ketiga dengan 12 persen.
Para pengamat memperkirakan proporsi pemilih mengambang (swing voter) sebesar 30 persen. Jadi, kejutan mungkin bisa saja terjadi.
Dosen Universitas Columbia, James Kim, mengatakan hasil yang paling mungkin terjadi adalah skenario di mana Partai Demokrat Korea, sebagai oposisi utama, kehilangan kursi, namun keseimbangan kekuasaan tidak berubah secara mendasar.
"Itu berarti kaum konservatif bisa saja mendapatkan kursi tambahan atau bahkan mungkin menguasai kursi terbanyak, namun Majelis Nasional Korea tetap terpecah dan membutuhkan kerja sama lintas partai dan kompromi dalam pengajuan rancangan undang-undang,” jelas Kim.
Skenario kedua adalah Partai Inovasi Nasional yang baru dan liberal menjadi kekuatan ketiga dengan bantuan swing voter. Namun jika berhasil, kemungkinan besar partai ini akan mendukung Partai Demokrat Korea (PDK) yang berhaluan liberal kiri. (ap/hp)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.