Mengapa orang tua bunuh diri bersama anak?
Dokter spesialis kejiwaan mengungkapkan ‘fenomena gunung es’ di balik fenomena orang tua yang bunuh diri dengan melibatkan anak.…
Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, mengatakan bahwa aksi bunuh diri keluarga merupakan fenomena yang perlu disikapi dengan tegas karena membahayakan nyawa anak-anak.
“Anak menjadi ordinat di dalam pelaksanaan mengakhiri hidup oleh keluarganya. Sebagaimana kita tahu, poin utamanya adalah relasi [kuasa] orang tua dengan anak ini luar biasa,” kata Ai.
Ia mengatakan bahwa relasi kuasa antara anak dan orang tua dapat terlihat jelas, dengan anak biasa tunduk pada keinginan orang tuanya. Sehingga, ia sebut anak di kasus-kasus seperti ini jarang memiliki kemampuan untuk menolak.
“Konteks relasi anak menjadi kelompok yang begitu kuat dan hebat dengan orang tua, memberi pengasuhan dan pemenuhan. Tentu saja, ini bukan sesuatu yang harus kita curigai, karena mereka berkomitmen keluarga ini,” ujarnya.
Mengapa istilah ‘bunuh diri sekeluarga‘ tidak dibenarkan?
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, mengatakan kejadian empat orang anggota keluarga yang bunuh diri di apartemen Penjaringan, Jakarta Utara, tidak bisa disebut "bunuh diri sekeluarga" karena tidak dapat dipastikan bahwa setiap orang melakukannya secara konsensual.
Sebab, dalam kasus ini, perlu dipertimbangkan bahwa terdapat dua orang anak yang masih di usia remaja.
“Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang tidak memiliki kecukupan kapasitas mental berupa keinginan dan tidak mungkin pula memberikan persetujuan atau kesepakatan bagi aksi bunuh diri,“ ujar Reza kepada BBC News Indonesia.
Reza menjelaskan bahwa dalam sudut pandang hukum, anak menjadi korban karena mereka tidak bisa memberikan persetujuan murni pada tindakan bunuh diri. Sama halnya dengan posisi anak dalam kasus kekerasan seksual.
“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,“ ungkapnya.
Oleh karena itu, Reza mengatakan kasus itu masuk ke ranah pidana dan melanggar pasal 340 dalam KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun,“ seperti tertulis dalam pasal tersebut.
Namun, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.
Lebih lanjut, ia menilai kasus tewasnya satu keluarga akibat bunuh diri dan pembunuhan tidak cukup jika hanya ditinjau sebagai masalah individu per individu yang ditangani lewat pendekatan klinis.
Dengan kata lain, sambungnya, penyikapan terhadap kasus-kasus tersebut tidak memadai jika akhirnya hanya menghasilkan rekomendasi terapi atau penanganan individual.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.