Para pendukung fanatik capres-cawapres 'rentan kena depresi’, kata psikolog
Kalangan psikolog dan psikiater memperingatkan isu kesehatan mental terhadap masyarakat makin nyata jelang hari pencoblosan Pemilu…
"Itu memang memengaruhi psikologis seseorang,“ katanya.
Lebih jauh, dokter Bernd Manoe juga menilai pemilh yang fanatik berisiko lebih besar mengalami respons stres dibandingkan pemilih rasional atau belum menentukan pilihan.
Musababnya, banyak di antara mereka yang sudah menjadi pendukung garis keras cenderung lebih mudah terstimulasi emosinya ketika figur pilihannya mendapat kritik atau serangan.
"Gejalanya mulai dari kecemasan, preokupasi terkait tema-tema pemilu, gangguan pola tidur, pola makan, sampai mempengaruhi fisiknya, seperti sakit kepala, sakit-sakit bagian tubuh lainnya hingga mengganggu relasi keluarga, teman, pekerjaan, sekolah dan aktivitas sehari-hari,“ kata Bernd Manoe.
Ignatia Ria Natalia, psikolog dari Universitas Katolik Parahyangan menjelaskan, pendukung fanatik memiliki kecenderungan menaruh harapan berlebih terhadap sosok yang diidolakan, bahkan sampai mengkultuskan "seperti orang suci“.
Pendukung yang fanatik, kata Ignatia, berisiko mengalami kecemasan yang tak terkendali karena pusat perhatian dan seluruh energinya terkuras pada sosok jagoannya.
"Yang kedua, para pendukung fanatik itu bisa rentan terkena depresi, tertekan kalau misalkan orang yang dia dukung kalah, kemudian menerima hujatan, terlebih menerima hujatan di media sosial dan dia tidak siap dengan itu.“
“Sebenarnya yang menjadi semerawut itu kan bukan tentang si pasangan calonnya masing-masing, tetapi si pendukung-pendukung fanatik ini yang bikin rusuh sebenarnya,“ jelas Ignatia.
Perang opini pilpres dalam tempurung kepala
Letakkan jari telunjuk Anda di dahi. Di belakang situ terdapat bagian otak bernama Prefrontal Cortex yang berperan sebagai pemimpin dengan fungsi mencerna informasi dan mengarahkan tindakan seseorang pada keputusan yang bijaksana dan logis.
Bagian otak ini juga memiliki fungsi terhadap empati, intuisi, nilai-nilai moral, pengendalian emosi, sampai penyelarasan komunikasi. "Sehingga sering diibaratkan seperti hati nurani,” kata Ida Rochmawati, Ida Rochmawati, spesialis kedokteran jiwa yang bekerja di RSUD Wonosari Gunungkidul, Yogyakarta.
Prefrontal Cortex diharapkan menjadi penasihat utama di dalam tempurung kepala masyarakat dalam menentukan pilihan Pemilu 2024.
Namun, adakalanya Amygdala atau bagian otak emosi menguasai Prefrontal Cortex. Kekuatan Amygdala dalam menguasai sikap dan perilaku seseorang ini berasal dari gempuran informasi pilpres yang bersifat emosional seperti potongan-potongan video capres-cawapres yang sengaja dibingkai menyulut kemarahan.
Informasi yang telah dibingkai, baik untuk memoles citra atau menyerang reputasi pasangan calon lainnya, begitu masif di media sosial.
"Yang harusnya stimulus dicerna dulu oleh Frontal Cortex, ada fenomena Amygdala Hijack, [informasi itu] langsung ditangkap oleh Amygdala. Jadi reaksi kita sangat frontal. Itu akhirnya tidak dicerna, karena stimulus itu intens,” kata dokter Ida.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.