Senin, 6 Oktober 2025

Lima fakta baru setelah empat minggu eskalasi tempur Israel-Hamas

Banyak hal tidak pasti yang menyelubungi eskalasi tempur Israel-Hamas di Gaza. Telah banyak solusi yang diajukan, tapi bisakah generasi…

BBC Indonesia
Lima fakta baru setelah empat minggu eskalasi tempur Israel-Hamas 

Sejak gelombang protes Palestina terakhir berakhir pada tahun 2005, sebuah pola muncul, bahwa stabilitas yang diyakini dapat dipertahankan tanpa batas waktu.

Stabilitas adalah ilusi yang berbahaya, bagi semua pihak, baik warga Palestina maupun Israel.

Argumen dalam ilusi stabilitas itu adalah bahwa Palestina bukan lagi ancaman bagi Israel. Sebaliknya, stabilitas merupakan masalah yang harus dikelola oleh Israel.

Alat-alat yang tersedia bagi Israel untuk mengelola stabilitas itu adalah hukuman, anjuran persuasif serta taktik kuno “memecah belah dan memerintah”.

Netanyahu, yang menjabat sebagai perdana menteri sejak tahun 2009 secara konsisten menyatakan bahwa Israel tidak memiliki mitra perdamaian.

Kemungkinan besar memang demikian. Otoritas Palestina, yang merupakan saingan utama Hamas, adalah organisasi yang sangat rapuh.

Banyak pendukung Otoritas Palestina percaya bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang sudah lanjut usia perlu mundur.

Namun mereka juga menerima gagasan soal pembentukan negara Palestina yang berdampingan dengan Israel pada tahun 1990-an.

5.

Jelas juga bahwa Israel, yang didukung Amerika, tidak akan memberi toleransi berupa kesepakatan yang memungkinkan Hamas tetap berkuasa.

Itu berpotensi menyebabkan lebih banyak pertumpahan darah. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan besar mengenai apa atau siapa penggantinya Hamas. Ini adalah pertanyaan yang hingga saat ini belum terjawab.

Konflik antara Arab dan Yahudi untuk menguasai tanah di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun.

Salah satu pelajaran dari sejarah panjang dan berdarah-darah itu adalah bahwa tidak akan pernah ada solusi militer.

Pada tahun 1990-an, proses Perdamaian Oslo digelar untuk mencoba mengakhiri konflik Israel-Palestina. Solusinya, waktu itu, adalah dengan mendirikan negara Palestina dengan ibu kota di Yerusalem Timur.

Upaya terakhir untuk menghidupkannya kembali, setelah bertahun-tahun melakukan negosiasi, terjadi pada masa pemerintahan Presiden AS Barack Obama. Upaya ini gagal satu dekade yang lalu dan sejak itu konflik Israel-Palestina dibiarkan memburuk.

Seperti yang dikatakan Presiden AS Joe Biden dan banyak tokoh penting lainnya, satu-satunya peluang untuk menghindari lebih banyak perang adalah dengan mendirikan negara Palestina berdampingan dengan Israel.

Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika pemimpin kedua belah yang saat ini masih berkuasa.

Kelompok ekstremis, baik di Israel maupun Palestina, akan melakukan apa saja untuk menggagalkan gagasan tersebut, seperti yang telah mereka lakukan sejak tahun 1990-an.

Beberapa di antara mereka percaya bahwa mereka mengikuti kehendak Tuhan sehingga tidak mungkin membujuk mereka untuk menerima kompromi sekuler.

Namun jika perang ini tidak memberikan kejutan yang cukup untuk mematahkan prasangka yang mengakar dan membuat gagasan tentang dua negara bisa terwujud, maka tidak akan ada yang bisa dilakukan.

Tanpa adanya solusi yang dapat diterima kedua pihak untuk mengakhiri konflik, generasi masa depan Palestina dan Israel akan tetap terdampak perang yang lebih besar.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved