Satu tahun Tragedi Kanjuruhan - ‘Jalan berliku meraih keadilan’ bagi penyintas dan keluarga korban
Setahun setelah kerusuhan usai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang menewaskan…
Ia mendapat perlindungan melekat, terutama sejak ia mengajukan autopsi untuk kedua anaknya. Devi Athok meyakini anaknya meninggal akibat terpapar gas air mata, lantaran tak ada luka di tubuh.
“Wajah menghitam, mulut mengeluarkan busa,” katanya.
Ancaman juga dialami Cholifatul Nur, 40 tahun, warga Desa Kasembon, Kecamatan Bulalawang, Kabupaten Malang.
Ban mobilnya dilumuri oli dan stempet, yang diduga untuk menyelakai dirinya.
“Seseorang berpakaian hitam, bersepeda motor hitam hampir menabrak. Beruntung saya lolos,” katanya.
Cholifatul Nur yang akrab disapa Ifa, kehilangan anak semata wayangnya, Jovan Farellino Yuseifa Pratama Putra, 15 tahun.
LPSK juga memberi pendampingan dan pengawasan terhadap Ifa sampai kini.
Ifa dan Devi Athok adalah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang selama ini kerap lantang dan vokal menyuarakan keadilan. Mereka menuntut para pelaku dihukum berat.
“Hukum mati, nyawa dibalas nyawa,” katanya.
Hidup Ifa berubah total sejak kehilangan Jovan. Sebagai orang tua tunggal, Jovan menjadi harapan hidupnya.
Kini, setiap hari pada pagi atau sore Ifa berziarah di pusara Jovan. Aneka bunga ditanam di atas makam.
Makam Jovan terlihat bagus dan indah dibanding makam lain. Bunga krisan dan bunga mawar ditanam di atas makam.
“Jovan suka aroma harum, dan wangi-wangian,” katanya.
Jalan terjal memperjuangan keadilan
Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), Imam Hidayat, menuturkan penyintas dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan butuh waktu panjang untuk mendapat keadilan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.