Satu tahun Tragedi Kanjuruhan - ‘Jalan berliku meraih keadilan’ bagi penyintas dan keluarga korban
Setahun setelah kerusuhan usai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang menewaskan…
Tak lama kemudian, seorang tentara mengangkat jenazah Ilham dan memindahkannya ke lokasi yang lebih lapang.
“Saya tak bisa menangis, hanya terdiam. Muntah-muntah, keluar air berwarna hitam,” katanya.
Ia syok. Keluarga Ilham datang membawa jenazah dan mengantar pulang Vidia. Ia baru tiba di rumahnya yang berlokasi di Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar pukul 3.30 WIB.
Lalu bagaimana dengan Rian, adik Vidia?
Awalnya, Vidia menduga adiknya pulang mengendarai motor sendirian. Namun dia tak menemuinya di rumah.
Esok harinya, orang tuanya mencari ke Stadion Kanjuruhan dan menemukan Rian meninggal pada pukul 11.00 WIB.
“Tubuhnya bersih, tak ada luka. Mungkin kehabisan napas,” kata Vidia.
Seorang penyintas lain, Deyangga Sola Gratia, 24 tahun, terpapar gas air mata hingga menyebabkan sakit di dada dan sesak napas saat bekerja berat. Bahkan, ia harus menjalani pendampingan psikolog selama hampir setahun.
“Sedih, perih, dan kecewa. Sampai sekarang tidak mendapat keadilan,” katanya.
Ia juga mengalami trauma. Saat mendengar ledakan dan sirine, keluar keringat dingin, ketakutan, resah dan peristiwa 1 Oktober 2022 kembali terngiang-ngiang.
Hingga kini, para penyintas dan keluarga penyintas tragedi Kanjuruhan terus memperjuangkan keadilan.
Ancaman dan percobaan pembunuhan
Jalan terjal memperjuangkan keadilan itu juga dialami Devi Athok Yulfitri. Pria berusia 44 tahun itu kerap mendapat ancaman dan mengeklaim hampir menjadi korban percobaan pembunuhan.
Devi kehilangan dua putrinya, Natasya Devi Ramadhani, 16 tahun, dan Naila Debi Anggraini, 13 tahun, serta mantan istrinya Gebi Asta Putri Purwoko, 37 tahun.
“Rumah didatangi orang tak dikenal, saya pernah ditabrak mobil di depan rumah,” katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.