Wisuda TK sampai SMA, antara 'momen paling berkesan' hingga 'biaya mahal'
Kemendikbudristek mengeluarkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023 sebagai respons terhadap banyaknya orangtua yang memprotes upacara…
”Sekarang itu era yang disebut dengan teknologi telah melahirkan wujud ekonomi baru yaitu yang namanya attention economy. Semua orang berusaha menarik perhatian.
Baca juga:
”Dalam pengembangan anak, fokus orang tua bukan lagi menjadikan anaknya berkepribadian dan sebagainya, tapi bagaimana dirinya dan anaknya bisa menjadi perhatian,” ujar Devie.
Dalam hal ini, ia menyebut wisuda hanya merupakan satu dari berbagai wujud orang tua ingin menampilkan prestasi anaknya dan mendapatkan kebanggaan tersendiri dari mengunggah foto-foto wisuda itu pada media sosial.
”Banyak sekali orang-orang tua yang bahkan rela gitu ya. Demi kemudian disebut sebagai orang tua modern, demi kemudian anaknya kelihatan keren, beliin anaknya banyak hal yang belum tentu bermanfaat,” katanya.
Di sisi lain, Devie mengatakan media sosial juga menjadi medium yang digunakan para orang tua yang selama ini sudah tidak setuju dengan prosesi wisuda dengan biaya mahal untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah.
”Zaman sekarang kita punya saluran untuk protes. Zaman dulu mau protes sama siapa? Anda pikir dari dulu enggak ada orang yang enggak suka? Banyak juga yang sebenarnya bingung. "Ini emang harus banget ya kayak begini?,” kata Devie.
Asal-usul wisuda: Tradisi budaya Barat yang menjadi bagian kultur sekolah Indonesia
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyebut prosesi wisuda awalnya merupakan tradisi yang menurun dari budaya Barat.
”Tradisi wisuda itu awalnya ada di Eropa. Ketika [tradisi itu] berada di Amerika, akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Kalau di Amerika [wisuda] dari mulai TK sampai kuliah,” ujarnya.
Ia mengatakan upacara kelulusan itu memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai individualisme yang sangat menghargai capaian individu.
” Jadi, praktik wisuda itu adalah nilai-nilai Amerika yang ingin mendidik anak-anak mereka untuk bangga dengan capaian pribadi mereka, bahkan sejak masih anak TK sekalipun,“ ungkap Devie.
Hanya saja, ia mengatakan nilai-nilai tersebut sebetulnya kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang cenderung lebih mengedepankan nilai-nilai komunal daripada individual.
”Nggak semua orang punya uang dan akhirnya ada yang tersisih. Kalau pun akhirnya sampai ikut, lebih karena nggak enak dan takut malu anaknya. Ini kan sudah meninggalkan tradisi kita,” jelas Devie.
Oleh karena itu, menurut Devie perlu ada penyesuaian tradisi wisuda agar lebih mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia seperti gotong royong yang memberi dampak sosial.
”Jadi graduation punya manfaat. Bukan kemudian sekedar penghargaan dan kemudian memanjakan diri dan sebagainya, tapi lebih kepada aspek budaya, kultural dan sosial kita juga terangkat lewat graduation ala Indonesia.”
Keberadaan tradisi wisuda juga dirasakan oleh Jaka, yang mengatakan bahwa terbentuk suatu ‘kultur wisuda’ di hampir semua sekolah tempat dia mengenyam pendidikan.
”Kalau setiap angkatan ada wisuda, nggak mungkin setiap angkatan ini membantah dan bilang nggak usah ada wisuda.
“Jadi sudah ada kulturnya dari dulu. Angkatan berikutnya itu pasti ikut semua,” katanya.
Beda sekolah, beda kebijakan
Baca juga:
- Nadiem hapus tes calistung untuk masuk SD, tapi 'tidak ada sanksi tegas bagi sekolah yang melanggar'
Novy Suharayati, seorang guru kelas satu yang mewakili Kepala Sekolah SD Negeri Kenari 07, Jakarta, mengatakan bahwa selama 10 tahun terakhir, sekolah itu belum pernah menggelar acara wisuda bagi murid-muridnya.
Sekolah itu menggunakan pranala Google Akses sehingga para orang tua dapat membukanya dan mencari tahu apakah anak mereka lulus atau tidak.
”Kami hanya diperbolehkan memberikan status kelulusan itu secara online. Jadi memang kami tidak mengadakan acara wisuda,” ungkap Novy.
Ia mengatakan bahwa sebelumnya mereka pernah menggelar acara pentas seni dan juga pemberian medali bagi siswa-siswa.
Namun, kebijakan terbaru sekitar 10 tahun yang lalu tidak lagi memperbolehkan acara selebrasi untuk kelulusan peserta didik.
Hal tersebut, sambungnya, disayangkan oleh beberapa orang tua.
”Sebenarnya orang tua murid itu ingin sekali. Kenapa? Karena kan ini [acara] enam tahun sekali. Jujur mereka ingin, tapi kan kita terbentuk dari surat dinas.
”Edaran itu yang tidak memperbolehkan selebrasi dengan bentuk terlalu wah, terlalu mewah,” kata Novy.
Kondisi ini berbeda dengan sekolah swasta Yasporbi, yang menggelar acara wisuda untuk siswa-siswanya mulai dari jenjang TK hingga SMA setiap tahun di Ardhya Garini, Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Pada upacara pelepasan tersebut, para siswa-siswa datang mengenakan kebaya atau jas. Kemudian nama mereka dipanggil satu-satu ke panggung untuk menerima map dan medali. Wajah mereka akan muncul di layar LED.
”Sebetulnya kegiatan wisuda yang dimulai sudah sejak 2012 itu adalah bagian dari ajang silaturahmi.
”Mungkin pada saat wisuda, kegiatan itu kurang berkesan. Tapi sekian tahun kemudian pastinya itu akan jadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan untuk mereka,” kata Senior Advisor Manajemen Yayasan Yasporbi, Maman Darusman.
Ia menjelaskan bahwa acara tersebut merupakan selebrasi yang positif bagi para murid. Karena selain merayakan kelulusan, acara tersebut juga menampilkan prestasi murid-murid dan juga kreasi mereka lewat pentas seni.
Untuk menghadiri acara tersebut, peserta wisuda dan orang tua mereka harus membayar biaya wisuda dengan kisaran Rp700.000 yang sudah mencakup segala perlengkapan wisuda dan sewa gedung.
Tetapi, Maman menekankan wisuda tersebut tidak bersifat wajib bagi siswa maupun orang tua. Ada pula subsidi yang diberikan oleh yayasan dalam menutup biaya tersebut.
”Siapa saja yang berkeinginan untuk mengikuti wisuda, monggo. Tidak pun, tidak ada masalah. Karena ini bukan kewajiban. Misalkan setelah pengeluarannya ada kekurangan, maka yayasan yang akan memberikan subsidi,” ujar Maman.
Selama ini, Maman mengeklaim bahwa relatif tidak ada orang tua yang mempermasalahkan biaya wisuda tersebut.
Lebih lanjut, ia mengatakan jika ada siswa yang memiliki hambatan secara finansial, unit sekolah dapat membantu mereka mencari jalan lain.
”Kepala sekolahnya pasti akan membicarakan untuk anak yang ingin sekali [tapi] kemudian tidak ada biaya. Karena kita juga mengajarkan nilai-nilai akhlak sosial.
”Sebetulnya banyak sekali hal-hal yang bisa diambil dari kegiatan wisuda tersebut. Mungkin negatifnya asal jangan jadi wajib,” pungkas Maman.
Kemendikbud: Wisuda untuk TK sampai SMA tidak wajib
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan bahwa kegiatan wisuda tidak bersifat wajib dalam kelulusan peserta didik.
Hal tersebut disampaikan melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2023.
Isi surat edaran tersebut berisi bahwa kegiatan wisuda sekolah bukan merupakan kegiatan yang wajib dilakukan dan tidak boleh menjadi sebuah kewajiban yang memberatkan orang tua maupun wali murid.
“Kemendikbudristek menegaskan bahwa wisuda sekolah bukan kewajiban dan tidak boleh memberatkan orang tua murid," ujar Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, pada Jumat (23/06) dalam keterangan resmi yang diterima oleh BBC Indonesia.
Kemendikbudristek juga mengingatkan pihak sekolah melakukan diskusi atau musyawarah dengan orang tua murid sebelum menggelar acara, sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Selain itu, Kemendikbudristek meminta kepala dinas pendidikan baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk melakukan pembinaan kepada seluruh satuan pendidikan di wilayahnya masing-masing untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kualitas layanan kepada peserta didik.
“Yang harus dilihat adalah esensi dari kegiatan wisuda. Apakah wisuda itu bekal untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi atau hanya sebagai budaya,” tambah Suharti
Pengamat pendidikan Ubaid Matraji, menilai keputusan Kemendikbudristek untuk membuat wisuda sebagai hal yang opsional masih kurang tegas dalam menanggapi polemik wisuda.
“Edaran itu harus tegas, melarang wisuda. Karena edaran ini kan memperbolehkan tapi tidak mewajibkan,“ kata Ubaid.
Ia merasa tidak akan ada banyak yang berubah semenjak surat edaran itu diterbitkan. Sebab, menurut Ubaid, tradisi wisuda akan selalu ada di semua jenjang sampai benar-benar dilarang.
“Padahal tujuan dari pendidikan di sekolah kan bukan soal itu [wisuda]. Itu kan cuma hanya pelengkap yang bukan sesuatu yang menjadi tujuan awal,“ ujarnya.
Sementara Jaka Bintara, yang masih menabung untuk memasuki jenjang kuliah suatu saat nanti, merasa keputusan Kemendikbudristek cukup adil.
Karena jika wisuda diwajibkan, maka hal tersebut akan menjadi beban bagi orang tua. Sementara jika dilarang, yang kehilangan justru para murid yang menginginkan acara perpisahan.
“Ada esensinya di dalamnya. Nggak cuma acara kasih medali-medali saja, tapi ada kenangan-kenangan terakhir atau momen-momen yang dulu pernah di sekolah itu terulang atau diceritakan kembali,“ tutup Jaka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.