Selasa, 30 September 2025

Wisuda TK sampai SMA, antara 'momen paling berkesan' hingga 'biaya mahal'

Kemendikbudristek mengeluarkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023 sebagai respons terhadap banyaknya orangtua yang memprotes upacara…

Saat ia duduk di kelas tiga SD, Jaka mengatakan bahwa ia memiliki guru bahasa Indonesia yang berbaik hati dan mewanti-wanti orang tuanya untuk mulai menabung untuk wisuda.

“Guru bilang ke ibu kalau akan ada wisuda di kelas enam. Ibu diminta menabung Rp50.000 untuk satu bulan dan itu terkumpul. Jadi nggak memberatkan orang tua dan aku juga,“ ujar Jaka.

Ia menyebut acara wisuda SMK sebagai wisuda yang paling berkesan baginya. Karena wisuda tersebut merupakan wisuda terakhir yang ia rasakan sebelum memasuki dunia kerja.

Jaka sendiri selalu pindah sekolah setelah menamatkan suatu jenjang pendidikan, baik itu TK, SD, SMP, maupun SMA. Sehingga, ia harus benar-benar berpisah dengan teman-temannya saat menghadiri acara perpisahan itu.

Walaupun ia paham bahwa ongkos wisuda yang mahal cukup memberatkan bagi orang tua, ia tetap merasa bahwa upacara perpisahan masih memiliki makna penting yang tidak perlu dihilangkan total.

“Kalau dihilangkan rasanya jangan. Soalnya wisuda itu lumayan berkesan bagi siswa-siswa. Mungkin bagi guru-gurunya juga lumayan berkesan di setiap angkatan punya guru yang beda-beda atau ketemu teman-teman yang beda.“

Pengamat: Ajang flexing dan konten media sosial

Ubaid Matraji, seorang pengamat pendidikan sekaligus koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai bahwa acara wisuda di tingkat sekolah tidak memiliki manfaat dan hanya bersifat memberatkan orang tua.

“Orang tua saat anaknya di akhir tahun harus cari sekolah anaknya untuk ke jenjang selanjutnya. Itu butuh persiapan uang untuk daftar ulang, untuk bayar bangunan, untuk SPP awal dan seterusnya,“ kata Ubaid kepada BBC Indonesia pada Selasa (27/6).

Menurut Ubaid, kini semakin banyak sekolah yang menggelar upacara wisuda hanya sebagai ajang untuk berlomba-lomba menunjukkan citra baik sekolah lewat menggelar acara mewah yang menampilkan prestasi murid.

“ Wisuda ini juga bisa disebut sebagai ajang flexing di sekolah-sekolah itu. Kalau acara pas wisuda atau seragam saat wisuda biasa-biasa saja, itu bisa di-bully sama sekolah-sekolah lain.

“Karena trennya begitu, sekolah ikut-ikutan tanpa melihat kemampuan orang tua, apakah punya sumber daya untuk melakukan itu,“ katanya.

Dia juga menyaksikan bahwa dalam lima tahun terakhir banyak orang tua yang menggunakan kelulusan anak sebagai kesempatan untuk menggelar acara mewah untuk membanggakan sekolah anaknya.

Padahal, sambungnya, sekolah yang mahal dan mampu menggelar acara mewah belum tentu menjamin kualitas pendidikan.

“Sekolah itu kan brandingnya ada dua. Satu soal prestasi. Sekolah bagus itu ya prestasinya bagus. Tapi ada juga, dalam tanda kutip, orang menggunakan branding sekolah bagus itu yang mewah,” jelasnya.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan