Alasan Warga India Tak Percaya Konsultasi Kesehatan Mental
Industri kesehatan mental di India berkembang seiring meningkatnya kesadaran. Namun, yang kasusnya tidak sesuai dengan norma sosial…
Seorang mahasiswa yang menetap di Mumbai membutuhkan terapi setelah melela sebagai lesbian kepada keluarganya.
"Itu saat yang sulit untuk saya. Ayah saya tidak mengakui saya, dan saya merasa bersalah setiap saat. Saya merasa telah mengecewakan keluarga saya," kata Alina (bukan nama sebenarnya) kepada DW.
Perempuan berusia 25 tahun ini menyebutkan, pencarian pertolongan justru membuatnya menjadi merasa tidak valid, tidak yakin dan rendah diri.
"Terapis saya saat itu mengatakan, ayah hanya ingin yang terbaik untuk saya, dan saya harus meminta maaf kepadanya. Itu membuat saya merasa seolah-olah harus malu dengan orientasi seks saya." Setelah beberapa sesi konsultasi, Alina berhenti mengikuti terapi.
"Sekarang saya merasa beruntung karena menemukan sebuah kelompok queer yang mendukung dan seorang terapis yang lebih baik," tambah Alina. "Banyak konselor dan terapis yang mempromosikan diri, mereka ramah terhadap queer, padahal tidak. Ini cukup berbahaya bagi kesehatan mental banyak orang, khususnya mereka yang berasal dari keluarga tradisional atau kolot."
Perdebatan nikah sesama jenis di India
Saat pengadilan tinggi India memperdebatkan pernikahan sesama jenis, Asosiasi Psikiater India telah memberikan dukungannya terhadap perjuangan persamaan hak. Pada tahun 2018, lembaga payung ini mengeluarkan pernyataan bahwa homoseksual merupakan salah satu bagian dari seksualitas dan bukan penyakit, sembari menambahkan bahwa anggota kelompok LGBTQIA+ harus diperlakukan sama.
Hanya saja, sejumlah praktisi masih berpandangan tradisional saat membahas masalah seksualitas.
"Disiplin ilmu psikologi secara sejarah didasarkan pada norma-norma sosial, dan pengobatan digunakan sebagai cara untuk memperbaiki atau menghukum," kata Raj Mariwala, direktur Mariwala Health Initiative. "Wanita dulu didiagnosis menderita histeria. Sampai sekarang, sisa-sisa hal itu masih ada. Rata-rata mereka adalah cis-heteroseksual dan berbadan sehat. Disiplin ilmu ini belum melihat lebih jauh dari sekadar membuat para praktisi kompeten secara struktural, dan ada kesenjangan besar dalam perawatan yang diberikan," katanya kepada DW.
Meningkatnya kesadaran kesehatan mental
Berdasarkan perkiraan Badan Kesehatan Dunia (WHO), 56 juta orang India menderita depresi dan 38 juta menderita gangguan kecemasan. Kesadaran akan kesehatan mental tengah meningkat, khususnya di kawasan urban India. Penelitian dari UnivDatos Market Insights menunjukkan, industri kesehatan mental diperkirakan bakal tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 15% pada periode tahun 2022-2028.
Sriram (30), menceritakan alasannya tidak memiliki anak kepada psikiater.
"Setelah beberapa sesi, ketika topik itu muncul kembali, dia menuding saya tidak ingin punya anak karena saya egois. Saya tidak mengerti bagaimana hal itu mempengaruhi saya saat itu. Saya menyadari telah mengalami pengalaman buruk setelah berganti terapis," kata Sriram kepada DW.
"Psikiater sebelumnya, juga menganggap kecanduan pornografi saya sebagai sesuatu hal yang normal. Saya tidak akan merekomendasikan terapis ini kepada orang lain. Dia juga sering menceritakan pengalaman pasien lain kepada saya, tentu saja dia akan membagikan cerita saya kepada orang lain," ujarnya.
"Hidup sendiri dan, atau, tanpa anak, merupakan pilihan layaknya pilihan lain yang dijalankan orang lain, yang harusnya bisa dihormati oleh terapis," kata Harini Prasad, seorang konsulen psikologis di Rumah sakit Chinmaya Mission kepada DW. "Namun, jika konselornya belum bisa mengidentifikasi bias dan mewaspadainya, penilaian pribadi dapat tercampur ke masalah pekerjaan."
Nasihat 'berbahaya'
Ritika, seorang jurnalis profesional, memutuskan untuk mengikuti tes Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebagai orang dewasa. Setelah menjalani serangkaian tes yang mahal dan lama yang diberikan kepadanya oleh sebuah klinik kesehatan mental, dia mendapatkan hasil yang tidak menyebutkan adanya gangguan tersebut. Dia diberi tahu mengidap kecemasan umum dan depresi ringan, di mana saat itu Ritika juga tengah menjalani terapi dan pengobatan.
"Saya menderita dengan neurodiversitas sepanjang hidup saya, dan akhirnya saya mencari evaluasi saat semua aspek kehidupan saya terpengaruh," kata Ritika. "Namun psikolog yang saya datangi sama sekali tidak memiliki pengetahuan praktikal tentang kondisi saya. Terlebih lagi, tes tersebut mencoba menganalisis saya dengan cara yang menyinggung dan menyakitkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.